Assalamualaikum wr wb.
Oh damn
gue balik lagi. Hanjing, hampir 3 bulan lamanya insting menulis dan kemampuan
akrobatik melatih jemari diatas keyboard laptop pupus begitu saja. Entah karena
perkara pekerjaan yang belakangan menyita waktu ataukah memang benar gue
hanyalah penulis karbitan yang miskin kosakata juga miskin logika, Sehingga
meng-kambinghitam-kan porsi kerja di atas keteledoran dan kenaifan diri menjadi
sebuah pembelaan mutakhir. Seolah-olah gue
cukup pantas dan perkasa dalam mencerdaskan kemampuan merangkai argument diatas
paragraph-paragraph panjang ini. PANTAS untuk dibaca dan pantas untuk disimak. The wedew sakti mandraguna.
And now, gue balik lagi. Gue HARUS tetap percaya diri bahwa
tulisan-tulisan unfaedah ini suatu saat akan menemukan muaranya. Dan gue harap
moment keberakhiran itu berhenti di angka indah. Like a miracle.
So apakabar boys and girls.
I need money, so kerja adalah solusi yang paling solutif
untuk menjawab statement tersebut. Tentunya hal ini juga sekaligus menjawab
kegelisahan-kegelisahan semenjak kedatangan gue ke Bali beberapa bulan silam. Live is survival.
Bukankah balas dendam terbaik adalah Sukses!??
Rupiah menjadi realitas baru yang harus gue hadapi. Setelah sebelumnya
gue sepakat bahwa “Jadilah babu untuk kebaikan-kebaikan bersyarat yang akan kau
terima”. Bak indoktrinisasi, tanda tangan hitam diatas putih menjadi pengikat
sesuai tanggal/hari dan waktu yang telah tertera pada bagian-bagian dan isi
perjanjian.
Tik tok gue sepakat menjadi kuli dalam waktu yang lama. Semua karena upaya untuk bertahan hidup. Haha munafuck.
Tik tok gue sepakat menjadi kuli dalam waktu yang lama. Semua karena upaya untuk bertahan hidup. Haha munafuck.
Bukankah semua orang melakukan hal yang sama? Entahlah gue
terlalu kerdil untuk menjawab pertanyaan semacam ini.
Lalu apakabar dengan kesenangan?
Gue bahkan merasa terlalu bodoh untuk membedakan kapan gue
harus merasa susah atau senang! Mengeluh atau bersyukur! kebodohan macam apa
ini? Hah tolol.
Ambil kendali hidupmu!
Seruan untuk kembali ter-sadar dari kegamangan antara memenuhi kebutuhan dalam perut atau keinginan bawah perut menjadi selera pamungkas untuk tetap berada dalam kondisi sadar. Bahwa standarisasi dalam hidup yang kekinian tak cukup untuk menjamin “ketika realitas menjalani keseharian akan selalu berjalan baik-baik saja tanpa ada kendala yang berarti”.
Seruan untuk kembali ter-sadar dari kegamangan antara memenuhi kebutuhan dalam perut atau keinginan bawah perut menjadi selera pamungkas untuk tetap berada dalam kondisi sadar. Bahwa standarisasi dalam hidup yang kekinian tak cukup untuk menjamin “ketika realitas menjalani keseharian akan selalu berjalan baik-baik saja tanpa ada kendala yang berarti”.
Tidak, itu salah. Hidup tidak semudah memesan Takdir dimeja bir.
Maka kemudian dijumpailah sebuah kesakralan bahwa
standarisasi kemewahan memang benar terletak pada muatan materi seberapa banyak
uang yang kau dapati setiap bulannya. Simplenya adalah uang adalah
segala-galanya. Sebuah kalimat yang familliar bukan?
Bagaimana bisa jaminan kebahagian ada pada upah perusahaan?
Gue kira, dengan menghabiskan bir sepanjang sore selepas
bekerja adalah sebuah sikap “Anti Depression”. Ternyata tidak. Itu
terlalu riskan jika dibandingkan dengan rutinitas pelepas penat.
Pada akhirnya sikap paling rendah pada poin ini adalah ETIKA suka tidak suka, dan HASRAT mau tidak mau, yang senantiasa harus gue terapkan. Sehingga berada pada kondisi “I like my job and I love my routinity” menjadi sebuah sugesti bermakna terhadap diri sendiri dalam meredam konflik bathin yang tidak pernah puas atas segala nikmat yang datang tiada henti. Sebagai Manusia kita adalah makhluk paling serakah, maka merugilah kita ketika menyadarinya. Shit.
Pada akhirnya sikap paling rendah pada poin ini adalah ETIKA suka tidak suka, dan HASRAT mau tidak mau, yang senantiasa harus gue terapkan. Sehingga berada pada kondisi “I like my job and I love my routinity” menjadi sebuah sugesti bermakna terhadap diri sendiri dalam meredam konflik bathin yang tidak pernah puas atas segala nikmat yang datang tiada henti. Sebagai Manusia kita adalah makhluk paling serakah, maka merugilah kita ketika menyadarinya. Shit.
Lalu mengapa kegamangan dan inkonsistensi dalam diri terus
bergejolak? Maka terkutuklah kita sebagai manusia yang miskin logika juga
miskin aqidah. Ketahuilah bahwa “adalah perspektif yang kemudian membutakan
mata dan melemahkan nurani”.
Hitunglah nikmatmu!
Seruan lainnya yang muncul sebagai pengingat adalah
bagaimana jika kita mampu menghitung nikmat. Seperti : Makan ketika lapar. Tidur
ketika ngantuk. Dan tertawa ketika bahagia. Lalu jika iya kenapa kita masih
saja terlena oleh kerakusan-kerakusan yang senantiasa mendustai nikmat-nikmat
tersebut.
Apakah iya dengan membiarkan semua gejolak tanpa arah ini
berlalu, berlanjut maka ia akan berhenti ketika menemui jalan buntu. Ataukah jangan
biarkan ia menyelimuti kegirangan-kegirangan dalam diri sehingga nikmat yang
harusnya khidmat senantiasa terasa berkah dan menjalar keseluruh tubuh tanpa
ada protes-protes semu sesudahnya.
Rasanya ingin mematahkan dan membantah semua argument diatas
demi kemaslahatan representasi ekspestasi hidup bahagia di pulau Dewata. Meski begitu,
Sejauh ini gue berada dalam kondisi baik-baik saja. Terimakasih Bali. Sekali
lagi “ I like my job and I love my routinity”. That is real.
Thanks for today, setidaknya lintingan terakhir menjadi
pemicu salinan ini dapat ter-posting di blog ini. Muehehe.
Salam hangat @zerockParzidink
Canggu, Bali 17-07-2019