Bagian 22


Seringkali kita tak mencatat momen penting dalam hidup ini. Saat itu terjadi, kau malah menganggap penting ketika sudah mengingatnya. Cobalah sesekali!

Gue sempat berpikir bahwa gue telah menjalani hari-hari buruk dalam hidup ini. Tapi ternyata salah, ada hal lain yang lebih buruk. Bak perputaran roda, tiba-tiba kau seolah menjadi selebritas sampah. Kau menjadi orang lain, bahkan pada dirimu sendiri. Kau bahkan tak bisa kembali menjadi dirimu yang sebelumnya. Entahlah, tiba-tiba saja sulit mengatakan bahwa gue baik-baik saja.

Akan tetapi, sebaliknya gue dalam kondisi yang sehat-sehat saja. Bahkan secara fisik berat badan gue bertambah drastis. Kata reorang gue jadi gemuk. Ya gue bersyukur, pelampiasan yang tepat untuk menghabiskan uang untuk jajan yang menyehatkan. Di titik yang lain, gue nyaris tak merasakan apa-apa lagi. Mungkin yang gue maksud ini adalah beban, baguslah jika demikian. Lalu jika iya, apakah ini bisa menjadi kekuatan super? Arrgghh gue butuh beberapa linting untuk mendapatkan kekuatan super power. Hiyya hiyyaa.

So mungkin ini yang disebut ironi, kerja itu sangat membosankan. Di kelilingi lingkaran para penghasut yang berstandar ganda, iya orang-orang ini seperti anjing. Tapi dalam arti yang positif. Muehehe, gak pake guk guukk. Sesungguhnya ini adalah kali pertama dalam hidup ini gue lebih banyak bersyukur, juga sekaligus sering mengeluh. Abstrak bukan? wkwkk

Ehh tapi belakangan gue cenderung menjadi paranoid, ini disebabkan setelah gue terlibat percekcokan di lampu merah beberapa waktu yang lalu. Iya, gue bahkan baku hantam dengan bocah ingusan yang sosoan belaga belagu di depan pacarnya. Kampret emang, dikata gue takut apa. Sini lu ngentot ama tragedy! Fxck! Tapi setelah kejadian itu gue menjadi takut kemana-mana. Lebih banyak waspada, dan lebih berhati-hati tentunya. Tau dah ahh puyeng. ckckckk 

Gue benci kondisi semacam ini. Semakin banyak yang ingin diungkapkan, semakin sukar pula gue untuk menulis? Kenapa? Apakah baik ketika gue nyaman untuk menulis tapi kemudian dipaksakan? Fxck lah ahh!

Terus terang, gue merasa aneh. Sangat aneh. Semoga perasaan ini tidak bertahan lama. Semoga.

Siapa yang pernah merasa menjadi kuda hitam dalam persaingan? Ya gue merasakan itu di lingkungan tempat gue bekerja. Rasanya seperti kuda poni di sebuah pertunjukan. Semua orang seolah meragukan kemampuan yang gue punya, ya gue harus berbesar hati kalo ini wajar. Maklum lah anak bawang. Ckckckk. Ya pada dasarnya gue harus menerima ini agar gue tak serta merta menyalahkan mereka (rekan-rekan kerja). Percayalah gue masih mau berada disini. Hoaamm.

Pada kenyataannya semua nampak suram buat gue, mengingat banyak hal yang telah gue abaikan sebelumnya. Meski begitu ibu gue pernah berucap:; betapa pun buruknya kehidupan, selalu ada hal baik di sekitarnya. Tinggal bagaimana caranya agar tetap fokus pada hal baik itu. Mungkin saja hal baik saat ini adalah Pekerjaan. Hmmp.

Kadang-kadang pula gue sangat benci untuk bangun pagi, harus mandi, berpakaian rapi, lalu berangkat ketempat kerja dengan mata yang perih. Ya gue bisa saja berpura-pura untuk menikmati rutinitas ini. Bahwa gue mempunyai kesempatan untuk membenah diri agar lebih baik. Selayaknya orang kebanyakan misalnya. Ngarep!

Siapa yang sudah mencoba “Hidup” sebagai orang baru dalam hidup ini? GUE!

Ada titik lain dari perjalanan hidup ini ketika gue hidup sebagai orang baru. Dan ternyata ini semua bukan tentang gue semata. Masih banyak melampui diri gue itu sendiri, missal : Ini tentang sahabat, tentang kolega, tentang orang sekitaran gue saat ini. Baik di tempat gue bekerja atau juga di tempat dimana gue tinggal. Ya para tetangga yang murah senyum itu. Terimakasih semesta, untuk bagian ini gue harus berucap Terimakasih dari lubuk hati yang paling dalam. Thx God!

Ya sejujur-jujurnya gue senang menghabiskan waktu di Bali. Momen semacam ini seperti melepas perban, pertanda sembuhnya beberapa luka lama. Ya mungkin, dan tetap saja mungkin. Disini gue merasa lebih tenang, untuk pertama kalinya sejak lama. Sedih dengan yang pernah berlalu, tapi tenang dengan keadaan yang sekarang. Ya gue selalu meyakinkan diri untuk bertahan dengan rencana ini, seolah ini merupakan tujuan baru. Intinya gue harus melanjutkan hidup. Itu saja.

Tapi kenapa selalu saja ada yang tak beres? Misalnya melakukan hal yang benar tapi terasa seperti melakukan kejahatan. Apakah seseorang bisa sangat lelah hingga dia tak lagi merasakan batasnya? Gue seperti meleleh tapi bukan dalam arti positif. Lagi-lagi hmppp.

Hidup ini cukup canggung, mungkin sebaiknya gue harus bersikap baik kepada semua orang. Ada orang yang berbahaya ada pula orang yang aneh. Mungkin saja ini adalah keseimbangan yang setara. Tapi kenapa lebih banyak orang yang tidak waras ketimbang mereka yang waras? Ckckckk kocak!

Apakah ini bisa menjadi kejahatan besar? Ketika gue dengan egois menghakimi kebanyakan orang bahwa mereka sudah gila! Sepertinya tidak, mereka pantas mendapatkan itu.

Sampai dimana kita?.....

Ahh tidak rupanya kita sudah di penghujung tahun. Sebentar lagi tahun baru. Mari berharap pada keajaiban agar batu loncatan di penghujung tahun ini bisa merubah diri yang leha-leha ini menjadi pribadi yang lebih produktif. Cheerrrss.

Canggu 16 Desember 2019

Bagian 21


               “Tidak peduli bagaimana pun kau yang berusaha keras melupakan, semakin keras kau membenci semakin nyata pula ia hadir di nadirmu”.

Yap beberapa bulan ini roda keseharian gue seolah berhenti. Stagnan, lalu perlahan menjadi pasti bahwa apa yang gue lakukan atas tindak laku ini adalah sebuah kepastian untuk kembali pada kata semu. Ya sebuah kesemuan seperti sediakala. Hambar dan tiada berarti.

Tepat satu bulan kemarin, telephone genggam gue berdering nyaring. Seketika terpampang sebuah nama yang tidak asing. Bagaimana bisa gue membahagiakan orang lain? Sementara gue bahkan tidak sanggup membahagiakan diri sendiri? Pertanyaan lama muncul di titik nadir setelah untuk beberapa saat gue merasa berhasil untuk mencintai diri gue sendiri.

Hallo apakabar?
Tanya suara di ujung telephone.
Ya gue baik-baik saja. Dan sepertinya gue sangat baik-baik saja belakangan ini.
Sahut gue.
Ada sesuatu yang harus gue sampaikan, tapi gue butuh waktu yang lebih Panjang untuk menyampaikan ini.
Ucapnya lagi.
Tanpa keberatan, gue pun menyanggupi permintaannya dan bersedia mendengar ceritanya dari ujung telephone.

                Ya untuk kesekian kalinya dia mucul dan menyampaikan keluh kesahnya. Tidak ada sedikit keraguan pun ketika gue mulai membuka diri untuk merespon segala gelisahnya. Tentang kuliahnya, tentang keluarganya, bahkan tentang kekasihnya yang konon katanya belakangan mereka lebih sering cekcok dan adu pendapat. Untuk sesaat gue menikmati itu.

Akan tetapi dalam lubuk hati yang paling dalam, perasaan gue berkecamuk. Batin gue bergemuruh. Apakah ini kesempatan kedua buat gue untuk memulai kisah lama ini? setidaknya berusaha memperbaiki apa yang dulunya sempat kandas. Gue ragu, tapi gue menepis keraguan itu.
Alhasil, sampai catatan ini dibuat. Gue benar-benar jatuh dalam lubang yang sama. Sakit dan teramat menyakitkan.

Rupanya, telephone itu menjadi berlanjut. Malah menjadi sebuah rutinitas. Bahkan tak sehari pun yang terlewati tanpa bercengkrama satu dengan yang lainnya, tenggelam dalam tawa riang di sela cerita yang gue berdua bangun dalam kurun waktu hampir sebulan. Ya disatu sisi gue mengabaikan jarak dimana gue dan ia berdiri.

Tak ada sedikitpun rasa canggung, gue menikmati momen ini dan ia pun sebaliknya.

Di suatu kesempatan ia berucap
Gimana kalo setelah wisuda gue berangkat ke Bali? Mungkin gue bisa memulai rasanya sensasi dunia kerja untuk pertama kali di kota Bali. Ucapnya lagi.
Ya lu mesti kesini, gue punya banyak tempat yang harus kita singgahi Bersama.
Balas gue dengan penuh yakin.
Sambil tersenyum ia mengangguk setuju dengan matanya yang berbinar.
Mungkin dengan kesempatan ini pula, kita bisa memperbaiki segala sesuatu yang dulu benar-benar kacau dengan hubungan asmara kita.
Gue kembali berujar namun ia hanya diam.

Tahukah kalian, siapa dia? Ya ia adalah alasan paling kuat ketika gue memulai Salinan ini. Ia adalah wanita yang pernah membuat gue jatuh cinta pada masa lampau. Dan ia adalah wanita yang melahirkan kedua putri kembar gue ke atas dunia ini. Ya gue ga perlu segan untuk menyatakan bahwa dia adalah mantan istri yang teramat sangat gue kasihi. Gue rela berbuat apa saja demi dirinya, itu adalah sumpah. Tapi itu semua terjadi pada masa lampau.

Gue bahkan mengingat dengan baik, dimana ia begitu senang dan girang ketika di berikan sebuah bunga. Katanya itu romantis.

Bahkan tidak jarang gue dengan sukarela memberikan bunga secara berkala. Ya meski keperawakannya jauh dari kata feminis, tapi ia selalu suka di perlakukan selayaknya perempuan. Bunga dan coklat, ia membencinya tapi tak juga menolak jika itu adalah hadiah.

Bahwa, mungkin sampai sekarang ia masih menjadi perokok aktif, dari suaranya yang kian serak gue bisa memastikan itu. Akan tetapi dari pengakuannya ia telah lama meninggalkan alcohol atau semua yang hal yang cenderung memabukan. Ya gue sangat percaya diri untuk menghafal betul segala sesuatu tentang dirinya. Apalagi sifat keras kepalanya yang sangat identik dengan peringainya.

Entahlah dua sampai tiga tahun gue berusaha melupakannya, dan dalam waktu itu pula gue berada pada titik kenihilan. Lagi-lagi sebuah nilai semu tanpa ada artian yang berarti.

Dia datang lagi, dan gue membuka lebar-lebar hati gue untuknya.

Tapi tahukah kalian bahwa perpisahan gue dengannya benar-benar menyakitkan pada masa lampau? Ahh gue bahkan tidak punya penggambaran yang tepat untuk menceritakan bagian ini. Hati gue telah hancur, bukan hanya satu kali, bahkan berulang kali. Lagi, lagi dan lagi.

Dan hari ini, gue mendapati itu lagi.

Suatu saat kau pasti menikah lagi,
dan kemungkinan besar bukan denganku.
Suatu saat, mau tidak mau
Aku juga harus merelakanmu.
Aku harap, kau benar-benar mencintainya.
Sebab, jika tidak
Aku takut masih tetap diam-diam berdoa, Untuk bisa berdiri di tempatnya
Mungkin, dalam sisa umur hidupmu.

Tolong beritahu aku bahwa ini adalah KESALAHAN!!!






Bagian 20


           
          Mungkin tidak ada sebuah pelajaran penting yang bisa diambil dari catatan ini. Bahwa hidup yang baik-baik saja tidak mencerminkan kebahagiaan yang absolute. Bahwa hidup yang berantakan mungkin terasa lebih menyenangkan. Bahwa mungkin, dan tetap mungkin. Gue lebih suka jika catatan ini cenderung mundur kebelakang lalu maju kedepan. Misalnya ternyata gue tidak berasal dari keluarga yang berantakan, atau juga relasi pertemanan gue yang menyebar luas dan dipenuhi aura positive adalah bentuk sinergi sefrekuensi yang perlu dijaga. Ingat, Energi negatif terbesar diperoleh dari banyaknya berinteraksi dengan orang-orang yang tak sefrekuensi. Lalu sampailah kepada hubungan asmara gue yang berhenti di istilah “kebebasan kebablasan”. Yap, pada akhirnya gue mendapatkan amanat yang berat yakni dikaruniai dua orang putri kembar dari hasil hubungan gue dengan salah seorang perempuan yang pernah menjadi idaman dan tambatan hati di waktu lampau. Bahkan sampai sekarang gue masih bingung diantara gelisah atau bersyukur. Please forgive me. 

Tetapi masalahnya, gue selalu menginginkan lebih dari apa yang ditawarkan oleh kehidupan modern. Gue ingin melihat semuanya dan mencoba segalanya. Bercinta dengan siapapun yang gue mau, merasakan lelahnya menuju puncak gunung, atau juga merasakan indahnya pagi hari di pantai sambil menanti mentari, lalu menghindari sesaknya kota-kota besar, dan melewati batas misalnya; mencuri apapun dari mereka yang layak dicuri. Makan gratis, minum gratis, baca buku gratis. Dan lain sebagainya.

Kembali ke kata MUNGKIN, Iya dulu mungkin gue terlihat buruk, dan memang buruk. Tetapi setidaknya gue melakukan keburukan-keburukan dengan kesadaran penuh. Lalu ketika menatap kembali di saat hidup gue bermula, sesaat sebelum gue benar-benar memantapkan jalan menuju hidup yang lebih layak untuk dihidupi, sebelum menjelajahi perjalanan hidup gue di Bali tentunya. 

Sebagaimana espektasi yang memendam saat ini. kala itu, gue masih terlalu takut untuk kehilangan. Gue cemas akan kehilangan barang-barang, kehilangan uang, kawan-kawan, keluarga, kekasih, bahkan juga pada akhirnya gue terlalu takut akan kehilangan nyawa disaat gue merasa belum siap untuk mati.

Toh pada kenyataannya kita semua akan mati, tapi tidak seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti kapan kita akan mati. Dengan demikian , selamanya kita tak akan pernah siap untuk benar-benar mati. Karena selama waktu hidup, kita tidak pernah benar-benar hidup. Tetapi melihat kembali hidup yang dulu, yang penuh dirundung kecemasan dan ketakutan, tetaplah menyenangkan sekaligus pantas untuk ditertawakan. Maybe yes maybe no.

Sebuah utas pernah menyebutkan “ Dengan melepaskan keterikatanku pada benda, segalanya menjadi mudah. Aku tak lagi mudah dibebani perasaan bersalah dan moralitas. Aku menjadi bebas. Terdapat sebuah korelasi antara Ketidakmelekatan pada benda dan kepuasan: semakin kita tak melekat pada benda semakin menyenangkan hidup kita. Hidup semakin ringan”. Kira-kira demikian.

Atas dasar ini, gue seolah-olah mendapat dan atau menjadi orang yang tercerahkan. Seakan-akan sadar “bahwa” gue harus berterimakasih pada kekasih yang pernah meninggalkan gue. Pada dia yang pernah merebut hati gue, sehingga  ia tak pernah lagi bersedia meluangkan waktu, keintiman dan keberadaan atas protes terhadap maruknya keegoisan dalam diri gue .

                Dan bahkan beberapa waktu lalu gue begitu hancur dan marah dengan kalian semua. Tetapi ketahuilah kini semua perlahan mulai berbeda dan berubah, kalianlah justru menjadi guru-guru yang mengajarkan tentang kesadaran bahwa “tak seorangpun seharusnya memiliki apapun agar tak terikat pada apapun dan dengannya manusia akan menjadi bebas”, walau dengan cara yang menyakitkan. Ingatlah, bukankah seringkali hanya dengan cara itulah manusia mampu belajar? Lantas, apakah kita pantas untuk menolak memiliki benda seperti bayangan kebanyakan orang-orang? tidak, kita harus menolak melekatkan hidup pada benda.

Perlu ditambahkan juga bahwa gue pernah merasakan benar-benar hidup ketika mengerjakan project acak membuat zine. Setidaknya didalam zine gue menemukan cara hidup yang lebih menarik. Hidup brassa lebih hidup. Bebas dengan kata-kata yang absurd, atau juga bebas menulis kalimat-kalimat hardikan. Tanpa khawatir atas ketersinggungan oleh batas-batas norma yang belakangan menjadi acuan dan aturan dalam passal yang kontroversial. Pemerintah benar-benar sakit, f*ck lah persetan dengan mereka.

Tapi lagi-lagi mungkin, bagi seorang manager kantoran di sebuah tim kreatif tempat hiburan di Bali akan bertanya-bertanya mengapa gue lebih memilih memainkan blog di tengah momentum dimana gue dirundung tuntutan performa beban kerja temporer sebagai Audio Visual di tempat gue bekerja sebagai karyawan tetap.

Oleh karenanya, semakin kesini semakin terngiang di kepala bahwa satunya-satunya jaminan dalam hidup yang benar-benar hidup adalah membiarkan semuanya mengalir seperti air, hulu-hilir.

Apakah menjadi buruk? Ketika upah bulanan tidak lagi menjadi jaminan?

Tidakkah engkau pernah mendengar seseorang pernah mengatakan bahwa satu hari dari hidup seorang penjelajah seringkali lebih terisi dengan kenangan dan kejutan dibandingkan hidup sebulan atau setahun dari seseorang yang mengabadikan seluruh waktu hidupnya untuk bekerja dan hidup sesuai aturan? Mungkin memang lebih banyak kesalahan dan kekacauan yang dibuatnya dibandingkan dengan apa yang dihidupi oleh seorang pekerja yang hidupnya seperti mesin.

Lalu apa alasan yang paling mendasar sehingga catatan ini menjadi Salinan dalam blog ini? ahh entahlah. Yang jelas gue masih baik-baik saja hingga salinan ini dimuat. Anggaplah ini adalah perlengkapan tempur bagi seorang pria hitam daki yang kurus ini.

So gutnite girl gutnite boy, sampai jumpa di lain waktu. Cheersss!!

Canggu, badung, Bali 06/10/19


Bagian 19



                Semakin kesini gue semakin ingin kembali. Memang benar semua kebodohan dan penyesalan yang pernah ada menjadi pelajaran penting yang harus jadi pertimbangan dalam mengambil keputusan dan juga menarik sebuah kesimpulan. Lain lagi dengan senyum sinis dari canda tawa palsu sudah menjadi penanda bahwa orang-orang pro muka dua (munafxck) akan selalu ada dimanapun kita berada. Hal ini seperti berada dalam lingkaran setan.

Tidak seperti awal dan a/ akhir, gue hanya muak dengan proses-proses bermakna yang diselingi tindak laku dengan pola pencitraan diri seolah-olah mereka maha benar dan maha bisa. Ya gue masih gak habis mikir “kenapa sih pekerjaan menjadi landasan pacuan persaingan?” Ya, bagi gue bekerja adalah mengais rezeki. Mencari yang halal sembari berharap menuntut progress menuju pencapaian. Bukan arena tanding apalagi medan rivalitas. Iya jika itu rivalitas yang positif, gue setuju.

Dampaknya, penyakit bosan indifference seketika menjamur dan menular seperti sediakala. Sehingga retorika aktivitas dalam bekerja yang dipenuhi drama-drama dan adu citra sangat-sangat membuat tidak nyaman, membosankan dan juga memuakan.

Awalnya gue kira cuman dalam kegiatan ber-Politik, intrik-intrik seperti standar ganda dimainkan. Di depan bicara A, di belakang bicara Z. Rupanya gue salah, dan yang paling menyebalkan adalah dimanika atau action-action semacam ini di perankan oleh orang-orang yang mengaku sebagai rekan kerja. Kan taik!!!!

I think this is wrong, fxcing bullshit!!!! And now I need somebody to talk about my work. Kita lihat sampai dimana gue bertahan!?

Oia perlu gue informasikan bahwa ini adalah bulan keempat gue bekerja. Ya akhirnya gue benar-benar tercatat sebagai karyawan disalah satu perusahan (Beach club, wahana hiburan, wisata keluarga, International school) dll. Tentunya perusahaan yang satu ini terbilang megah & ternama di kawasan Canggu, Badung, Bali.

Kalok dipikir-pikir sih gue termasuk orang beruntung bisa bekerja ditempat ini. Setidaknya bisa memperkaya diri sendiri dan memperlancar pemasukan dari segi keuangan. Awokwokwkwook.

Lalu, Apa perlu gue ceritakan juga bagaimana situasi dan kondisi di tempat gue bekerja? Ah tidak, ini bisa berubah menjadi a/ semacam membuka kartu jahad dari perusahaan tempat gue bekerja. So skip ae.

Anyway apakabar boy apakabar girl?

                Sebenarnya sih porsi gue bekerja terbilang cukup sederhana. Lebih kepada monitoring dan maintenance. Dalam sehari 8-9 jam kerja, Itu pun ketika berlangsung event. Maklum perusahaan di tempat gue bekerja sedang bergerilya dalam usaha promosi sehingga tidak jarang pengadaan acara seperti event sangat dibutuhkan sebagai media promosi yang strategis. Dan hal ini dilakukan oleh perusahaan secara berkala sesuai Waktu, Hari, dan Tanggal yang telah ditentukan. All according to plan.

Dan dari sekian rutinitas yang gue jumpai setiap hari, ada satu hal yang paling menarik sejauh ini. Yaitu ini adalah kali pertama gue bekerja sebagai karyawan formal dan mempunyai atasan seorang Bule (WNA).

Edan poko na mah. Boss gue berasal dari Australia dan dia sangat agresif dan anti protect terhadap staf-stafnya.

Hey Muhamed how are you?

Im good sir!

Everthing is good?

Yeah sir, everthing its ok and already!

Remember, work using the brain not muscles.

ckckckk.  

Dalam satu minggu, ada beberapa hari yang terhitung rawan krodit (jam sibuk). Yaitu jumat, sabtu, minggu. Sehingga sangat diharapkan kerjasama tim pada ketiga hari yang telah disebutkan ini. Maklum performa kerja, sangat tergantung pada complain-an para tamu yang datang secara random. Sehingga apabila terjadi sedikit saja mis-komunikasi, terlebih ketidakpuasan daripada tamu yang datang maka akan berakibat sangat fatal.

Gue pernah diomeli gegara volume TV,. bayangkan hal sekecil ini bisa saja menjadi perkara Panjang dan berkelanjutan. Intinya, insting dan inisiatif sangat diperlukan untuk memperhatikan secara mendetail terhadap semua equipment dan atribut departement. Demi menghindari complain-an dari pada guest. Terlebih jika ada evaluasi dari manager of departement (MOD).

Belakangan gue JADI faham bahwa “Bule kalok belum ngomel-ngomel itu berarti dia belum Profesional”. Ingat itu. Dan boss gue sangat identik dengan perkara ini. Singkatnya lu salah, AUTOBACOT! Ckckckk.

Sementara itu, ada satu Regulasi yang digunakan di tempat gue bekerja terhadap para tamu (Guest). Yaitu SYSTEM membership. Keanggotan tamu yang diklasifikasi kedalam beberapa golongan. Dari beberapa golongan ini pun mendapatkan servis yang berbeda-beda pula.

Sejauh sepengetahuan gue, mereka membayar secara berkala baik per-bulan ataupun per-tahun. But, gue masih butuh informasi yang valid dan mendetail perihal ini. Jadi, sekali lagi kita skip.

DON’T THINK TWICE

                Belum setahun gue bekerja dan laka-liku rotasi perputaran roda perihal “kerja” cukup menguras energi dan fikiran. Mungkin gue lupa, bahwa tantangan dalam bekerja adalah persaingan. Lagi-lagi gue harus meyakinkan diri bahwa ini adalah bentuk rivalitas yang sehat. Setidaknya gue harus berfikir dua kali untuk tidak “menyalahkan” orang lain. Terlebih urusan dan a/ performa ketika bekerja. Yeah, I will be ready if compete fairly.

So nampaknya akhir minggu ini SCHEDULLE event yang padat akan menjadi keseruan tersendiri. Terlebih performa tim akan dituntut lebih totalitas dalam menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut event mendatang. But, gue masih anak bawang, jadi tetap santuyyy. Ckckckkk.

Di lain sisi, belakangan gue semakin terpengaruh dengan segala macam sentralisasi Bali terhadap pengaruh lifestyle global. Tato, Alcohol, Drugs, Scene Music atau juga pertanyaan semacam “kenapa Bule bisa ber-libur di Bali, Indonesia?” Sementara gue tidak bisa libur di Negaranya?

Waitt, mungkin gue butuh sebuah passport untuk menjawab pertanyaan ini. Ckckckck.

Maybe bukan standar ganda yang harus gue terapkan, melainkan high standar international yang kudu gue realisasikan. Sederhananya, kalok para bule bisa melakukannya, kenapa kita nggak? Ckckckck.

Semoga ada pacik bule yang baik hati yang ngajakin ke luar Negri. Amiin. Hahahaeey

Wassalam.

Canggu, Badung, Bali 21/09/2019

Sebuah Catatan Permulaan bagian 18

"Semalam baru saja berpesta. Sungguh seru nampaknya cerita di sosialmedia. Namun tidak kenyataannya".

Bagian 17


    Ini adalah sesuatu yang memang gue rencanakan sebelumnya sehingga catatan ini terkadang benar-benar menyimpang tapi kemudian selalu kembali kepada realitas dan rutinitas yang ada. Tolong diingat bahwa ini hanyalah paradoks dilemma perihal kebimbangan secara personal yang berangkat dengan teori dan analogika seadanya. Dan hal ini gue lakukan secara sadar dan seirama dengan imajinasi juga motivasi tanpa strategi ataupun metode-metode tertentu. Hanya sebuah salinan keseharian yang sifatnya in-krusial. Sebuah upaya melawan ketakutan dari dalam diri, anggaplah ia berupa “Penghalang mental”.

Simplenya adalah ketika lu berani memulai itu berarti lu punya nyali, dan ketika lu punya nyali maka lu mempunyai motivasi. Sementara motivasi cenderung datang dari dua arah yaitu sesuatu yang datang dari belakang  dan sesuatu yang datang dari depan. “ Masa lalu dan masa depan”.

Sesuatu yang datang dari belakang adalah sesuatu hal yang pengen gue hindari di masa depan. Hal ini semacam kegagalan atau juga trauma-trauma akibat dari kelalaian yang menyebabkan kefatalan pada masa lampau. Terjebak dengan obat-batan lalu kemudian gagal dalam studi kuliah, gagal dalam percintaan, dan juga gagal sebagai seorang anak yang menghormati jerih payah orangtuanya (tanggungjawab). Dan masih banyak lagi prilaku buruk pada masa lampau baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja. Pada intinya, sesuatu yang ada di masa lalu merupakan hal yang berorientasikan kepada semua tindak buruk yang berujung pada penyesalan.

Sementara sesuatu yang datang dari depan adalah suatu kemungkinan antara bergerak maju dengan dorongan dari belakang. Sehingga esensi masa depan berubah menjadi keinginan yang memungkinan untuk hidup sehat lalu mati dengan bijakasana dalam keadaan kaya raya. Kira-kira demikian. Tentunya hal ini membutuhkan sebuah komitmen untuk bergerak maju. Simbiosis mutualisme antara Imajinasi-Motivasi-Komitmen. Entahlah gue bahkan gak mengingat dengan baik apakah ini adalah pemikiran Orisinal ataukah pengaruh dari bacaan yang pernah gue baca atau juga informasi yang gue dengar. Jelasnya poin pada titik ini adalah “Sanggupkah gue untuk merealisasikan komitmen yang dimaksud? Sementara gue punya cukup imajinasi yang meliar dan motivasi yang menggunung.

Pertanyaan semacam ini lah yang kemudian mengharuskan salinan ini terus berkelanjutan dengan dekorasi yang berlapis-lapis. Seperti catatan kaki tapi berlapis. Sehingga maju-mundur dari alur cerita pada titik ini tidak menjadi perkara penting yang sengaja gue abaikan. Lagi-lagi catatan ini berangkat tanpa metoda khusus semacam induksi-deduksi atau juga sebaliknya.

Lalu ada pertanyaan lainnya semacam seberapa banyak orang yang peduli dengan keberadaan kita? 

Peduli dengan hidup lu yang menyedihkan, atau juga peduli dengan hidup lu yang menyenangkan. Pekerjaan, pasangan, tabungan juga investasi masa depan yang menjanjikan dan lain sebagainya. 
Singkatnya sebuah prospek menuju kesuksesan. Lalu jika disederhanakan, maka hal ini akan terbantahkan dengan sendirinya, yaitu  pada kenyataannya tidak ada seorangpun yang kemudian benar-benar peduli dengan keberadaan kita jika mengacu pada naluri material dari sudut pandang sebagai makhluk sosial. Ahh statement ini terlalu spektakuler. Maksud gue adalah tidak semua orang benar-benar peduli dengan kehidupan lu terkecuali keluarga kandung lu itu sendiri. Sampai disini ada yang paham? Ah bodoamat lah ya. Wkakwkaka.

Bagi gue, kebanyakan dari kita sibuk dan mementingkan egonya sendiri yaitu selalu mencari cara untuk memenuhi daya konsumtif yang cenderung menjadi Prioriatas/nomer satu.

Oleh karena itu, gue semakin percaya bahwa hidup tetap menjadi sebuah perjudian antara masa lalu dan masa depan meskipun konsep seperti ini cenderung tidak diakui kebanyakan daripada kita.

So apakabar boy apakabar girl?

Tinggalkan semua realitas diatas. Untuk kali ini gue hanya ingin berfikir dan berusaha untuk sungguh-sungguh memikirkan bagaimana caranya menaklukan semua realitas tersebut dengan cara yang benar-benar realistis. Misalnya membiarkan semua berlalu seperti air yang berlalu. Ckckck udeh saik belon?

Bagaimana jika isi kepalamu memuat banyak ide-ide cemerlang?

Atau

Apa yang akan kamu lakukan jika di benakmu menyimpan banyak cita-cita yang spektakuler?
Jawabannya : Rajin-ranjinlah berkarya supaya tidak gila!!! hahaha

Gue hanya merasa seperti tercerahkan. Tercerahkan dari sudut pandang baru, setelah selama ini terjebak dalam pemikiran yang kusut dan dangkal. Harus gue akui bahwa “Pekerjaan” menjadi sebuah permulaan baru yang potensial untuk merubah beberapa hal buruk pada masa lampau.

Simplenya seperti :  Menyadari bahwa susah dan senang ternyata bersifat sementara. Temporary.
Tentunya gue cukup yakin dengan kegamangan semacam ini. Untuk memastikan bahwa hal ini benar-benar terjadi maka perlu di pastikan bahwa lu cukup memiliki modal di kantong celana. Hahaeyy mulai ngaco. The fucking money, ada uang lu senang gada uang lu menderita. Tae leddik.

Berapa uang yang lu hasilkan setiap bulannya?

Atau

Berapa banyak tabungan yang telah lu sisihkan?

Jika kebahagian di ukur dari nilai materi seberapa banyak uang yang lu kumpulkan. Maka ini tentunya sebuah argument yang menyesatkan jika dibenarkan. But, siapapun dapat membantah dan siapapun juga boleh membenarkan bahwa keinginan atau hasrat memiliki banyak uang adalah sebuah fenomena yang bersifat faktualis.

Pertanyaan seperti “Siapa yang hari ini tidak membutuhkan uang?” 

Ahh f*ck gue benci dengan PEMIKIRAN ABSURD semacam ini!

SEKIAN TANPA TERIMAKASIH!!

CANGGU, BALI 14-08-2019


Bagian 16


Assalamualaikum wr wb.

                Oh damn gue balik lagi. Hanjing, hampir 3 bulan lamanya insting menulis dan kemampuan akrobatik melatih jemari diatas keyboard laptop pupus begitu saja. Entah karena perkara pekerjaan yang belakangan menyita waktu ataukah memang benar gue hanyalah penulis karbitan yang miskin kosakata juga miskin logika, Sehingga meng-kambinghitam-kan porsi kerja di atas keteledoran dan kenaifan diri menjadi sebuah pembelaan mutakhir.  Seolah-olah gue cukup pantas dan perkasa dalam mencerdaskan kemampuan merangkai argument diatas paragraph-paragraph panjang ini. PANTAS untuk dibaca dan pantas untuk disimak. The wedew sakti mandraguna.

And now, gue balik lagi. Gue HARUS tetap percaya diri bahwa tulisan-tulisan unfaedah ini suatu saat akan menemukan muaranya. Dan gue harap moment keberakhiran itu berhenti di angka indah. Like a miracle.

So apakabar boys and girls.

I need money, so kerja adalah solusi yang paling solutif untuk menjawab statement tersebut. Tentunya hal ini juga sekaligus menjawab kegelisahan-kegelisahan semenjak kedatangan gue ke Bali beberapa bulan silam. Live is survival.

Bukankah balas dendam terbaik adalah Sukses!??

Rupiah menjadi realitas baru yang harus gue hadapi. Setelah sebelumnya gue sepakat bahwa “Jadilah babu untuk kebaikan-kebaikan bersyarat yang akan kau terima”. Bak indoktrinisasi, tanda tangan hitam diatas putih menjadi pengikat sesuai tanggal/hari dan waktu yang telah tertera pada bagian-bagian dan isi perjanjian.

Tik tok gue sepakat menjadi kuli dalam waktu yang lama. Semua karena upaya untuk bertahan hidup. Haha munafuck.

Bukankah semua orang melakukan hal yang sama? Entahlah gue terlalu kerdil untuk menjawab pertanyaan semacam ini.

Lalu apakabar dengan kesenangan?

Gue bahkan merasa terlalu bodoh untuk membedakan kapan gue harus merasa susah atau senang! Mengeluh atau bersyukur! kebodohan macam apa ini? Hah tolol.

Ambil kendali hidupmu!

Seruan untuk kembali ter-sadar dari kegamangan antara memenuhi kebutuhan dalam perut atau keinginan bawah perut menjadi selera pamungkas untuk tetap berada dalam kondisi sadar. Bahwa standarisasi dalam hidup yang kekinian tak cukup untuk menjamin “ketika realitas menjalani keseharian akan selalu berjalan baik-baik saja tanpa ada kendala yang berarti”.

Tidak, itu salah. Hidup tidak semudah memesan Takdir dimeja bir.

Maka kemudian dijumpailah sebuah kesakralan bahwa standarisasi kemewahan memang benar terletak pada muatan materi seberapa banyak uang yang kau dapati setiap bulannya. Simplenya adalah uang adalah segala-galanya. Sebuah kalimat yang familliar bukan?

Bagaimana bisa jaminan kebahagian ada pada upah perusahaan?

Gue kira, dengan menghabiskan bir sepanjang sore selepas bekerja adalah sebuah sikap “Anti Depression”. Ternyata tidak. Itu terlalu riskan jika dibandingkan dengan rutinitas pelepas penat.

Pada akhirnya sikap paling rendah pada poin ini adalah ETIKA suka tidak suka, dan HASRAT mau tidak mau, yang senantiasa harus gue terapkan. Sehingga berada pada kondisi “I like my job and I love my routinity” menjadi sebuah sugesti bermakna terhadap diri sendiri dalam meredam konflik bathin yang tidak pernah puas atas segala nikmat yang datang tiada henti. Sebagai Manusia kita adalah makhluk paling serakah, maka merugilah kita ketika menyadarinya. Shit.

Lalu mengapa kegamangan dan inkonsistensi dalam diri terus bergejolak? Maka terkutuklah kita sebagai manusia yang miskin logika juga miskin aqidah. Ketahuilah bahwa “adalah perspektif yang kemudian membutakan mata dan melemahkan nurani”.

Hitunglah nikmatmu!

Seruan lainnya yang muncul sebagai pengingat adalah bagaimana jika kita mampu menghitung nikmat. Seperti : Makan ketika lapar. Tidur ketika ngantuk. Dan tertawa ketika bahagia. Lalu jika iya kenapa kita masih saja terlena oleh kerakusan-kerakusan yang senantiasa mendustai nikmat-nikmat tersebut.

Apakah iya dengan membiarkan semua gejolak tanpa arah ini berlalu, berlanjut maka ia akan berhenti ketika menemui jalan buntu. Ataukah jangan biarkan ia menyelimuti kegirangan-kegirangan dalam diri sehingga nikmat yang harusnya khidmat senantiasa terasa berkah dan menjalar keseluruh tubuh tanpa ada protes-protes semu sesudahnya.

Rasanya ingin mematahkan dan membantah semua argument diatas demi kemaslahatan representasi ekspestasi hidup bahagia di pulau Dewata. Meski begitu, Sejauh ini gue berada dalam kondisi baik-baik saja. Terimakasih Bali. Sekali lagi “ I like my job and I love my routinity”. That is real.

Thanks for today, setidaknya lintingan terakhir menjadi pemicu salinan ini dapat ter-posting di blog ini. Muehehe.

Salam hangat @zerockParzidink

Canggu, Bali 17-07-2019

Sebuah Catatan Permulaan bagian 15


                Bagaimana mendeskripsikan keadaan gue saat ini? Padahal di benak ada begitu banyak kata-kata yang melintas. Berharap menjadi sebuah sebuah utas yang bermakna namun malah menjadi paragraph-paragraph yang membingungkan. Apakah ini pantas menjadi draft-draft kebingungan? Lalu jika iya maka untuk apa?

Ohh tidaak. Nampaknya ini adalah waktunya. Waktu yang sudah di tentukan sebelumnya, sudah saatnya catatan ini menyimpang ke sudut dan ruang yang berbeda.

Lalu tentang apa?

Maka pertanyaan ini akan bermuara kepada keberadaan tentang al-kisah si Putri yang datang dari kayangan. Yang lahir dilangit ketujuh diantara bintang-bintang dan benda langit yang bertebaran di ujung semesta nan jauh. Yap Ia adalah si Putri Tanpa Nama.
Siapakah dia?

Dia adalah mentari pagi yang menjadi gemerlap di tengah malam.  Yang selalu hadir dikala mimpi indah dan tidur panjang. Yang selalu muncul dan menebar senyum manisnya.  Dan juga, yang selalu datang dan pergi tanpa ragu ketika gue menginginkannya dalam tidur lelap malam panjang.

Yap Putri itu tidak bersayap meski ia datang dari kayangan. Konon, selama hidupnya ia telah melakukan penghambaan kepada Tuannya sepanjang waktu dan tiada henti. Tapi si Putri itu pernah patah hati. Terbuai oleh cinta semunya di waktu yang lampau. Akibat sakit hatinya, ia kemudian memohon kepada penciptanya agar ia tak ingin lagi ada cinta di dalam hatinya. Lalu dengan segala kepedihan serta kesedihannya, ia kemudian mematahkan kedua sayapnya tanpa sedikitpun takut akan penyesalan yang akan datang dikemudian hari. Sungguh dilematis.

Ia pun kemudian terlempar ke bumi lalu terjebak dalam realitas dan rutinitas yang ada di dunia. Meski kini ia menyerupai kebanyakan manusia fana, namun keistimewaan dirinya sebagai seorang Putri tidak lah hilang begitu saja. Senyumnya yang istimewa dan pandangan matanya yang tajam menjadikan dirinya tetaplah seorang Putri yang berkharismatik. Meski ia tak lagi tinggal di kayangan, ia tetaplah Putri dengan wujud yang rupawan dan mempesona.

SINGKAT CERITA, Suatu ketika ia menghampiri tidur panjang dan mengganggu gugat mimpi indah yang kian menjamur di kepala. Entah apa yang merasukinya. Ia datang begitu saja. Lalu mengeluarkan banyak kata-kata mutiara yang tampak seperti murka seorang Adam kepada anak cucunya.

“Hei kau pria hitam, bangunlah dari tidur panjangmu, apakah kau lupa dengan kewajibanmu ketika hidup di dunia?”
Tanpa bisa menjawab gue terbangun dari tidur panjang itu. Sembari bergumam, “Siapakah sesosok misterius itu? Apakah ia nyata ataukah hanya ilusi semata?”

Lalu keesokan harinya, gue kembali kedalam tidur dan berharap kepada sebuah keajaiban agar ia datang malam ini dan tinggal lebih lama  didalam mimpi panjang yang sedang gue telusuri. Untuk kali ini gue lebih bersiap-siap dengan segala konsekuensinya. Oh tidur aku takut denganmu tapi juga bangga padamu. Terimakasih tidur. Kau menjadi istimewa.
Bagaimana tidak?

Kali ini si Putri tampak lebih nyata dari kedatangannya yang pertama. Alis matanya yang lentik dengan kelopak yang bulat melengkapi senyum manis dari bibirnya yang nampak memerah. Ia begitu nyata di depan mata. Apakah ini keajaiban yang gue harapkan itu? Entahlah hanya Tuan tak bertuan yang tahu.

Tapi kedatangannya kali ini benar-benar berbeda dari sebelumnya. Bahkan tanpa kata-kata ataupun ocehan yang menakutkan seperti kedatangannya di hari kemarin. Ia hanya meninggalkan jejak bahwa ia nyata. Seolah menegaskan bahwa ia mempunyai eksistensi didalam kehidupan fana ini. Tak satupun kata yang keluar dari bibir manisnya. Hanya tatapan tajam dengan senyum yang mencibir yang terlihat jelas dari raut wajahnya. Sementara itu gue bersusah payah mencoba menerjemahkan apakah gerangan dari pesan yang tersirat dari kedatangannya kali ini. Sontak gue terbangun dan si Putri pun hilang begitu saja.

Gue semakin penasaran. Siapakah sesusungguhnya gerangan yang penuh misterius ini? Apakah kedatangannya atas kehendaknya sendiri? Ataukah ia hanyalah utusan dari Tuan yang tak bertuan? Datang sebagai penghibur?

Semakin lama gue bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan, semakin besar pula hasrat agar bisa menyapanya lebih jauh. Sekedar ingin tahu perihal maksud dan tujuannya. Kira-kira begitulah mengartikan hasrat yang sedikit malu-malu ini.

Malam berikutnya ia kembali datang kedalam tidur lelap sesuai keinginan gue sebelumnya. Untuk kesekian kalinya gue selalu menginginkan tidur panjang dengan mimpi yang indah.

Tiba-tiba suara itu memecah keheningan.
“Tahukah kamu, bahwa menyerah dengan keadaan adalah pekerjaan seorang pengecut?”
Perlahan Tanya itu semakin nyaring dan jelas.

Untuk ketiga kalinya ia menghampiri dan kian terasa semakin nyata. Seperti mimpi di dalam mimpi. Tanya itu seolah menyalahkan keputusaasaan yang sedang menimpa tubuh ini.

Gue memilih diam dan hanya terpaku dengan pesona dan aura yang tepancar dari balik tubuh cantiknya. Didalam pikiran gue terbuai khayalan, memadukan halusinasi yang kian memukau. Sekilas pancarona itu terlihat seperti cahaya biru pemberi harapan. Harapan yang ikut sirna bersama gelak tawa semenjak putus asa datang menghampiri beberapa tahun kebelakang.

Demikian dengan ingatan yang menghitam, merah memudar di tengah semangat hidup yang ikut terpuruk. Semua aral yang pernah terucap bahkan tak pernah kembali. Meratapi kegagalan yang ganas menyerang. Sesaat gue memikirkan akankah ia akan tinggal untuk selamanya? Lalu bagaimana caranya menerima dirinya sementara ia adalah Putri yang agung? Ia layak menjadi sempurna untuk dipuja.

Dalam kesunyian dan keragu-raguan lantas si Putri berseru “Bangunlah, tidurmu sudah cukup untuk hari ini” Ia kemudian berlalu pergi diantara peraduan yang belum sempat meredam pedih dan sedih. Apakah gue terselamatkan? Ah entahlah si Putri kembali hilang meninggalkan bisik-bisik bertabur pilu yang belum sempat terjawab.

Makna itu seperti pintu terlarang. Si Putri itu hanya membangkitkan rasa yang pernah hilang, menanyakan asa yang pernah sirna. Bahkan semua yang kelabu dan yang keliru kemudian dijadikan alasan bahwa gue layak untuk hidup seribu tahun lagi. Jangan pulang sebelum Tuanmu memanggil, Setidaknya itu adalah kalimat yang terucap sebelum si Putri benar-benar pergi menghilang.

Semenjak malam itu hidup menjadi ruang hindar yang semestinya gue pijak untuk terus menghias jarak antara ada dan tiada.  Gue menjadi curiga, bahwa curigaku pun selalu di curigai sebagai sebuah kesalahan. Selalu saja ia menghilang di penghujung kata yang penuh makna. Hari itu gue benar-benar kacau di buat olehnya.

Ia menjadi sangat misterius, sulit ditemukan, menjadi jarang terlihat di mimpi-mimpi berikutnya. Sesekali ia datang menghampiri , melintas melalui peristiwa di lini masa. Bukankah ia menjadi istimewa di dalam mimpi-mimpi sebelumnya?

Senang lalu tertawa, sedih lalu termenung. Bahkan terkadang keduanya tercampur menjadi satu adukan yang majemuk. Ah Putri kau benar-benar berada diantara ada dan tiada.  Bagi yang telah lama terluka maka tiada lagi rindu yang akan mendekat. Hanya menjaga lupa kepada mereka yang telah menjauh.

Setidaknya berkat si Putri Tanpa Nama itu, titik balik dari kecewa pada masa lampau terobati secara perlahan. Hati yang pernah patah dan retak kembali merasa pantas untuk menyukai kembali.

Sekedar pengharapanku agar kau tetap tahu. Lukamu, lukaku, adalah luka yang pernah mendatangi kita semua.

Canggu, Bali 14/05/2019

Bagian 14

                Hey boy hey girl. Apalah arti sebuah keberakhiran jika kita masih di berikan sebuah kesempatan untuk tetap hidup? Sama halnya ketika kita terkekang lalu meneriakan kebebasan yang nyatanya teriakan kebebasan kita hanyalah sebuah kesemuan. Seperti berontak didalam semak belukar.

27 tahun sudah gue hidup di atas dunia ini dan acapkali menganggap diri gue seorang freeman. Laki-laki bebas dengan seutas mimpi yang kini nampaknya mulai usang.

“Siapa namanya bolehkah gue menyapanya?” Kembali gue berbicara dengan diri sendiri.

Lalu protes seperti “Apalah arti potensi jika tidak di imbangi dengan usaha yang maksimal?” Pertanyaan seperti ini nampaknya muncul dari dalam diri seolah tak pernah berhenti dan terus berkelanjutan. Entahlah semakin banyak hari yang terlewati, semakin jauh pula catatan ini menyimpang.

Jika semua orang menyadari bahwa “Salah itu biasa, bener juga biasa. MAKA kalau salah gausah drama, entar juga bener. Kalau bener gausah sombong entar juga salah.”

Jika saja semua reorang dan anak muda punya mentalitas ini, sungguh merdeka mereka dalam mencoba hal baru. Dan tanpa ragu mereka akan berkarya meski untuk pertama kalinya. Sebuah utas yang sungguh bermakna, tulis salah satu komika di akun sosial medianya. But tinggalkan dunia maya, di dunia nyata kita bukanlah apa-apa.

"So apakabar pekerjaan?"

Belakangan ini gue bener-bener bergerilya dalam mencari pekerjaan. Dan bahkan hasrat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak menjadi prioritas gue sejauh ini. Mungkin banyak orang pernah melakukan hal yang sama. Menelusuri trotoar jalanan sambil membawa sebuah map yang isinya surat lamaran. Lalu dengan muka tebal menghampiri setiap tempat yang berpotensi membutuhkan karyawan. Di manapun itu, apapun profesinya. Jelasnya sebuah pekerjaan yang menghasilkan Rupiah.

Terus terang, gue hampir ga punya pengalaman untuk melakukan hal yang satu ini. Berani berkeringat di siang bolong sembari berharap mendapat sebuah pekerjaan yang layak. Mengingat dan menimbang map yang gue bawa hanya berlampirkan sebuah kenekatan. Tak lebih dan tak kurang, seutas titel SMA. Miris.

Awalnya hal ini sangat bertolak belakang dengan kepribadian gue. Entahlah, seolah mencari pekerjaan dengan mendatangi setiap café dan restoran adalah adegan pengemis yang sedang meminta-minta di bawah lampu merah.

Seketika itu juga, gue berontak. Ahh ini bukan diri gue. Gue adalah freeman, pria bebas yang gak perlu terikat dengan sebuah pekerjaan. Apalagi dengan cara meminta-minta. Protes demi protes bergejolak di dalam bathin. Tapi lagi-lagi balas dendam yang terbaik adalah sukses. Sementara jalan menuju sukses adalah sebuah prospek. Untuk menuntun prospek maka usaha adalah satu-satunya cara. Kira-kira begitulah rantai yang terikat satu dengan yang lainnya.

Jika emosimu memuncak tinggi maka jangan biarkan ego membunuhmu. Kata Bob Marley dalam sebuah lagunya. The one only ,man!

So hari ini gue punya kabar gembira. Genap sudah dua bulan gue mendiami Bali. Canggu dengan segala kesibukan dan lalu lalang para bule asing setiap harinya, tak pernah berhenti. Dan nampaknya tensi lalu lalang para bule asing belum akan mereda dalam bulan ini.

Yap hari ini gue menyelesaikan wawancara tahap akhir. Artinya dalam waktu dekat gue segera memulai pekerjaan baru. Gue bahkan ragu untuk melakukan selebrasi rasa syukur atas berita bahagia ini, mengingat sebelumnya kontrak gue di cut begitu saja di perusahaan sebelumnya. Sehingga untuk kesempatan kali ini gue sepertinya harus lebih berhati-hati.

Dan lagi. Gelisah menunggu esok hari kembali menghampiri. Menebak kira-kira seperti apa hari esok? Bahkan gelisah itu terus berkecamuk mengingat besok adalah kepastian antara gue bisa memulai kerja ataupun tidak. Yap besok gue di jadwalkan untuk melakukan negosiasi kontrak kerja.

Uhh seperti mendaki sebuah gunung lalu sebentar lagi mencapai puncak, tapi puncak itu tak kunjung sampai sementara kaki-kaki mulai lelah dan dahaga membutuhkan segelas air. Ahh rembulan beri gue sedikit kekuatan untuk malam ini. Please help me.

Bukankah itu kenikmatan ketika mendaki? Rasa lelah juga haus yang tak berujung. Tubuh yang menggigil dengan sisa-sisa tenaga agar bisa sampai ke puncak. Tak bisa di pungkiri, semua pendaki akan melakukan hal yang sama yaitu terus melangkah. Semua di perlukan untuk sampai ke puncak. Huh hah heh hoh.

Butuh sedikit lagi energy untuk menaklukan tahap ini. Just come on.

Tak cukup banyak kata-kata yang menjadi kalimat bermakna untuk hari ini. Hingga seutas paragraph ini di salin maka Kopi di gelas nampaknya telah habis di seruput. Sementara sebentar lagi pagi menjelang di ufuk timur. Sudah saatnya menyenderkan tubuh di atas rebahan penuh kegelisahan ini, sembari berharap besok semua berjalan lancar.

Bismillah. Semoga semesta berbaik hati untuk hari esok, lusa, seterusnya dan seterusnya. Amin.

Bye boy, bye girl.

Canggu, Bali 10-05-2019.

Sebuah Catatan Permulaan bagian 13


                Malam telah larut dan gue baru saja menghadap layar laptop. Di pojok sudut kanan bawah Nampak sederet angka yang menunjukan Pukul 02.15 AM sebagai penanda dini hari segera tiba. Dan angka lainnya mewakili hari dan tanggal yakni 05/05/2019 di tahun masehi musim penghujan. Yap semenjak kedatangan gue di pulau dewata musim penghujan pun belum juga berakhir. Sebaliknya waktu berganti dengan cepat, hari-hari berlalu tak pernah melambat. Ada secerca harapan sekiranya apa yang kita lakukan dalam keseharian setiap harinya tidak meninggalkan kecemburuan di sekitar kita, mengingat sebagai manusia ada naluri iri dan dengki yang tak pernah padam meski secara alamiah kita telah menyadari bahwa susah senang acapkali dirasa sama, dan bahkan susah senang silih berganti adalah  kesementaraan yang mutlak. Life is temporer. Secara manuasiawi kita menyadarinya akan tetapi kita pula mengabaikan keabsah-annya.

Ada beberapa kabar buruk yang sekiranya menjadi bahan dalam lanjutan catatan ini. Tentunya masih perihal yang sama yaitu pekerjaan dan survival. Ya semenjak gue memilih Bali sebagai pelarian, ada harapan besar untuk mengubah kebiasaan lama yang dari dulu selalu melekat dan menjadi dominan dari keseharian gue Yaitu Pemalas dan Penunda. Malam susah tidur, Pagi susah bangun, dan Siang selalu ngantukan. Dan masih banyak lagi penebusan yang harus gue kerjakan jika sang Maha Penguasa menghendaki. Yes i always to hope. Gue sadar, mungkin beberapa dari kawan-kawan mengalami hal yang sama. Dalam istilah kesehatan biasa dikenal dengan sebutan insomnia. Tentunya ada banyak factor dibalik penyebab susah tidur ini. But persetan dengan insomnia. Ada hal lain yang pengen gue tulis hari ini.

Setelah email gue di bales beberapa minggu kemarin maka sesudahnya gue mendapat panggilan perihal wawancara. Awalnya gue cukup pede karena sesi wawancara tidak jauh dari apa yang gue prediksikan sebelumnya. Apalagi beberapa pertanyaan dalam sesi wawancara memang sesuai keprofesian gue dulunya. Yap gue cukup yakin meskipun disatu sisi gue minim ilmu teori perihal kelistrikan. Tapi gue tetep pede, apalah itu gue cukup sigap untuk menjawab beberapa pertanyaan seputar apa itu arus AC DC atau juga  bagaimana caranya membuat partisi dalam installasi listrik rumahan. Ada beberapa tahapan yang harus gue lewati tentunya. Tes tulis dengan essay bahasa inggris. Dan juga wawancara dengan owner atau pemilik usaha itu sendiri.

Meski gue mampu menyelesaikan beberapa hal tersebut, gue gak langsung diterima dan di intruksikan untuk menunggu telephone dari perusahaan. Lagi-lagi fase yang menjanjikan.

Selasa siang handphone gue berdering kencang:

“Selamat siang, apa benar dengan Pak Fajri?” terdengar suara sesosok perempuan di ujung telephone.
“Iya benar sekali. Dengan saya sendiri.” Sahut gue dengan spontan.
“Jam 2 siang pak Fajri bisa menghadap ke kantor?” kami dari LoveAnchorCanggu.
“Oh iya mbak, bisa.”
“Nanti langsung aja datang ke Office. Kalo bapak bersedia kita langsung teken kontrak perihal kontrak kerja” Ujarnya lagi dari ujung telephone.
Dalam hati “Anyingg aing keterima gawe” HA HA HA.
Dengan riang dan berseri-seri telephone pun segera gue matikan dan bergegas bersiap-siap menuju kantor sesuai instruksi yang barusan gue terima. Akhirnya gue keterima gawe sebagai engineering di salah satu pusat perbelanjaan di daerah Canggu kabupaten Badung, Bali. Hell yeah gak!? Wakakaka.

Okeh lanjuuut.
Pukul 01.45 Pm gue meluncur ke tempat yang telah dijanjikan. Adalah Office, sebuah ruangan persegi empat yang belakangan gue kenal sebagai kantor pusat dalam pengoperasian dan pengontrolan adminstrasi dan juga mengawasi kinerja staff-staff yang bekerja di dalamnya. Nampak juga beberapa deretan monitor computer sebagai penunjang dari fasilitas diruangan ini. Ruangan ber-AC dengan dekorasi classic lampu pijar yang melingkar di langit-langit juga interior dinding berbahan dasar kayu jati yang tampak masih baru. Seperti bekas pernis di ujung-ujung dekorasi yang masih menyisakan jejak bahwa ruangan ini sepertinya baru habis di renovasi.

“Selamat siang pak, saya HRD dari office ini. Untuk selanjutnya bapak akan berurusan dengan saya dalam hal koordinasi dan juga konsultasi apabila bapak menyetujui dan berkenan untuk bekerja pada perusahaan kami.”
“Bapak bisa baca dulu perjanjian kontraknya. Jika ada pertanyaan silahkan untuk di tanyakan.” Makasih ucapnya sambil menyodor draft kontrak kerja.”

Untuk beberapa saat gue membaca passal demi passal secara seksama. Meski begitu otak gue udeh dipenuhi dengan semangat kerja sembari berharap ini adalah jawaban dari usaha gue belakangan ini perihal pekerjaan. Dan keyakinan itu semakin menguat bahwa awal baru yang gue impikan belakangan ini terpenuhi. Yaitu bekerja dan bekerja. Make a money for my self. Wanjing! Gue hanya berharap bisa menghasilkan uang dengan cara yang benar dan dengan keringat sendiri tanpa membuat risih orang lain. Hmppp.

Dan DONE. Tanpa sedikit keraguan gue menandatangani surat perjanjian kontrak kerja tersebut. Meski gue dalam posisi formal dan dalam keadaan negoisasi, tapi otak gue udeh berterbangan kemana-mana. Membayangkan menghabiskan gaji pertama dengan Sohib gue. Yoi doi adalah orang pertama yang harus gue cekokin. Barangkali hukumnya menjadi fardu ain untuk yang satu ini. Muehehe.

Byarr!!! Lamunan gue buyar ketika suara yang sama menghampiri tempat duduk gue.

“Jadi ini adalah list kerja bapak. Bapak akan ditugaskan sebagai engineering dan juga sebagai maintainence. Sehingga bapak akan bertanggungjawab secara penuh sesuai SOP dan standar dari porsi kerja bapak.” Ungkapnya panjang lebar sekaligus menjelaskan apa-apa saja yang akan menjadi pokok pekerjaan gue nantinya.
“Oia jangan lupa tugas bapak mengontrol dan mengatur jadwal pemeliharaan terkait alat-alat elektronik di tempat ini.” Jelasnya lagi. Bapak bisa hubungi saya di nomer ini atau juga lewat email kantor. Ungkapnya melanjuti penjelasannya.

Dalam benak gue sih antara faham dan tidak faham ketika di hujani sebegitu banyak penjelasan 
perihal porsi kerja gue nantinya. Meski begitu gue tetap menunjukan gelagat bahwa gue faham sepenuhnya atas penjelasan demi penjelasan yang baru saja ia utarakan.

Sebelum gue melanjutkan pertanyaan lebih jauh. Suara itu kembali berucap, “Oia sebagai penyesuaian jam kerja bapak untuk sementara dimulai dari pukul 12.00 siang sampai pukul 08.00 malam.” Untuk lebih lanjut nanti akan saya informasikan.” Tuturnya mengakhiri pembicaraan.

Tanpa protes dan Tanya yang belum sempat di tanyakan gue akhirnya menyetujui dan menyesuaikan segala sesuatu sesuai penjelasan dan SOP yang diserahkan olehnya.

Semangat itu masih menggebu-gebbu dan mudah saja untuk di prediksi. Malam itu gue gak bisa tidur dengan nyenyak. Semangat yang menderu dan berpacu dengan malam panjang benar-benar membuat tidak nyaman. Huh hah hoohh.

Handphone gue kembali berdering:

“Selamat pagi, Pak fajri jadi kan siang ini mulai masuk kerja?”
“Iya bu, saya akan tiba di sana sesuai jadwal”.
“Baiklah, ada beberapa hal yang mau saya sampaikan”.
“Oke baik bu”. Balas gue.

Dan booomm hari pertama berjalan dengan lancar. Meski rada kaku ketika gue di perkenalkan ke karyawan yang lain perihal gue sebagai karyawan baru, tapi semua tetap berjalan lancar.  Tugas gue pun terbilang sederhana. Hanya melakukan controlling sepanjang hari dan sesekali melakukan koordinasi dengan staff keamanan. Koordinasi harus terus gue lakukan karena menurut mbak HRDnya gue harus melakukan itu secara rutin selama jam kerja.

Okeh kita masuk hari kedua. Hari ini gue harus ke toko elektronik untuk melakukan belanja rutin dari kantor. Ada beberapa alat elektronik yang harus gue beli dan alat-alat tersebut akan dijadikan inventaris penunjang di tempat gue bekerja. Menurut informasi dari satpam, ada banyak alat-alat elektronik yang hilang selama renovasi berlangsung. Sehingga di perlukan untuk melakukan belanja, apalagi ini termasuk belanja rutinan. Lagi-lagi semua berjalan lancar.

Hari ketiga, gue memutuskan untuk datang lebih pagi. Tepatnya pukul 08.00 wita. Adapun yang gue rencanakan adalah jika gue masuk pagi maka kemungkinan besar pukul 16.00 wita gue bisa pulang. Hal ini tentunya sesuai dengan jam kerja dari setiap perusahaan yang ada di Bali.

“Pak fajri dimana? Bisa menghadap kekantor”? tiba-tiba sebuah pesan masuk lewat jejaring sosial wassapp.
“Iya baik bu”. Balas gue sembari bergegas menuju kekantor.

Sesampainya gue di office.

“Pak fajri kenapa masuk pagi tanpa pemberitahuan”? Tanya HRDnya.
“Oh iya bu, saya sengaja datang pagi karena saya harus preparing sebelum memulai kerja”. Jawab gue.
“Iya tapi bapak harus melakukan laporan. Tidak bisa seenaknya mau masuk pagi atau siang”. Perlahan nada si HRD semakin menaik.
“Iya bu maaf sebelumnya jika belum ada pemberitahuan. Saya berniat akan menjelaskan kepada ibu jika ibu sudah tiba dikantor pagi ini.”
“Lah kok kamu nyalahin saya, saya emang datangnya jam segini.” Asal bapak tahu, kontrak bapak bisa gugur kapan aja jika saya memutuskan. Bapak jangan macam-macam dengan saya ya.”
“Iya bu, sekali lagi saya mohon maaf”.
“Gak bisa, saya gak suka jika karyawan saya tidak memenuhi aturan saya”. Sebaiknya sekarang bapak pulang saja dan tunggu panggilan dari saya”.
“Maksud ibu?”
“Kamu gak usah banyak nanya deh, sekali lagi saya beritahu. Kapanpun saya mau Pak fajri bisa saya pecat dari tempat ini.” Ungkapnya ketus.
Dalam hati gue bilang “Si anying bangsat, gue salah apa anying datang pagi malah di omelin?” Bangsat emang!
“Baik bu, saya lebih baik pulang”.
“Iya sana kamu pulang, jika sampai tanggal 2 saya tidak menelpon maka kontrak kamu gugur”.
“Iya bu, ibu bisa berhenti ngebacot gak?” Saya akan dengan senang hati berhenti dari tempat ibu.”
Jeggerr. Reflex gue merusak segalanya.

Belum genap seminggu gue bekerja. Kenyataan pahit harus gue terima. Nampaknya gue belum siap untuk bekerja dalam tekanan. Sampai hari ini panggilan itu tak kunjung datang. Maka mudah saja untuk di tebak. Kontrak gue di cut begitu saja.  Ah si anyingg!

The hate you give. Apa yang lu benci, itu yang akan lu dapatkan. WANJING!

Canggu, Badung, BALI.

Sebuah Catatan Permulaan bagian 12


                Okey kita mulai dengan mengucapkan “Happy International Weed Day” 20 April 2019. Sebuah peringatan hari besar skala Global perihal tanaman Ganja dan kegunaannya. Awalnya secara personal bahasan mengenai tanaman ganja adalah sesuatu yang menakutkan karena dapat mengakibatkan sebuah kefatalan, mengingat track record gue sebagai pemakai aktif. Dan alasan lainnya tentu karena UUD 1945 telah mengatur tentang tindak criminal baik pemakai maupun pengedar perihal penyalahgunaan Narkotika jenis Ganja. Dan itu cukup menjadi alasan kenapa Ganja menjadi sesuatu yang sakral. Baik dalam penggunaannya maupun ketika membicarakan keberadaannya diruang public. Apalagi dari segi bisnis di pasar gelap, Ganja selalu berkoneksi antara satu dan yang lainnya. Sehingga menjadi suatu keharusan dalam menjaga kerahasiaan serta pemeliharaan daripada jalur peredaran antar inter-koneksinya.

Sejauh ini gue bahkan berani berdebat akan jenis-jenis Ganja dan efek samping yang dapat ditimbulkan olehnya. Dari sekian banyak Ganja yang beredar di pasar gelap, ada beberapa jenis yang kemudian menjadi favorit di kalangan para pengguna. Dari tingkat ke-High-annya sampai kepada berapa lama durasi sesorang berada dalam pengaruh akibat asap yang ditimbulkannya (Celeng). Asalkan kalian tahu Ganja tidak membahayakan secara fisik, apalagi menyebabkan kerusakan pada organ-organ vital didalam tubuh. Berbanding terbalik dengan apa yang seringkali di kampanyekan oleh BNN (Badan Narkotika Nasional). Meski begitu hal ini tidak layak untuk di perdebatkan dalam paragraph ini.

Bukan tanpa alasan kenapa gue se-begitu betahnya berada dikota Bogor. Dan nampaknya catatan ini mulai menampakan identitasnya bahwa ini adalah sebuah salinan pengakuan selama perjalanan ini berlangsung. Dan gue cukup sadar untuk melakukan ini selama nafas masih menderu dengan liar.

Okey kita kembali ke kota Bogor. Di akhir tahun 2010 gue memutuskan untuk melanjutkan studi (kuliah) di kota Bogor, seperti yang gue ceritakan pada bab awal ketika catatan ini dimulai. Tahun 2011 akhirnya gue tercatat sebagai mahasiswa aktif di salah satu Universitas Swasta ternama dikota Bogor. Singkat cerita, rupanya gue cukup gesit untuk berbaur dan beradaptasi. Sehingga untuk mendapatkan kawan baru bukanlah hal yang rumit untuk gue lakuin. Factor ini juga lah yang kemudian mengantar gue untuk mengenal jenis-jenis Ganja di pasar gelap dalam ruang lingkup mahasiswa serta Jalur peredarannya. Baik dari pemakai, pengedar, atau juga siapa yang menjadi pemakai sekaligus pengedar. Tentunya gue butuh waktu hampir 2 sampai 3 tahun untuk memahami dan mempelajari serta mengantisipasi dari bahaya yang di akibatkan jika berani menggauli Ganja. Baik dari sisi pemakai maupun sebagai pengedar (Bisnis).

Singkat cerita, suatu ketika temen sekamar gue berujar.

“Zer, lu mau bisnis gak?”

Tanpa pikir panjang gue bilang hayuuu. “Emang bisnis apaaan?”

“Jangan banyak nanya ikut ajah, nanti juga lu tau”. Ungkap temen gua.

Selang beberapa saat kemudian handphone temen gue berdering dengan kencang. Tanpa ada pertanyaan yang keluar dari mulut gue, kami pun meluncur pergi setelah temen gue mengangguk-ngangguk pertanda mengerti akan instruksi dari ujung telephone.

Beberapa saat kemudian, tibalah kami di sebuah perempatan jalan protocol kota Bogor. Dari ujung jalan terlihat beberapa toko bunga. Di ujung yang lain nampak deretan toko ikan yang bersebelahan dengan sebuah rumah makan padang. Dalam hitungan menit semenjak kedatangan kami, tiba-tiba temen gue memberi intruksi setelah membaca messagge yang masuk:

“Zer lu disini ajah, biar gua yang samper”. Ucapnya.

Gue pun menganggukan kepala pertanda setuju.

Tidak jauh dari tempat gue memarkir motor, temen gue berjalan menuju tong sampah yang berada di sisi jalan lainnya. Karena posisinya yang berseberangan, gue gak bisa melihat dengan jelas siapa yang ia temui. Di lain sisi gue ngikutin apa kata temen gue tentunya. Yaitu gue kudu nunggu dimari.

Selang beberapa saat, temen gue kembali dan tanpa basa-basi langsung menancapkan gas kemudiaan melaju pergi. Setibanya dikossan ia langsung memberi kode, seolah-olah menyalahkan lampu hijau tanda bahwa ia akan memberitahukan sesuatu. Sepintas, ia sudah tahu apa yang akan gue tanyakan perihal lalu-lalang barusan yang gua bdua kerjakan.

“Tadi siapa moy?”

“Itu mah partner, Nih ambil duit,”

Terlihat beberapa lembar pecahan lima puluh ribuan.

“Oia ini lu mau nyobain gak?” Tanya si amoy.

“Apaan ini?”.

Tampak beberapa linting dalam bungkus rokok yang sepintas terlihat seperti pocong dalam ukuran mini.

“Udeh isep aja, kek ngeroko tapi asapnye jangan di buang”. Jelas dia sekali lagi.

“Gak brasa apa-apa”. Kata gue lagi.

“Iyye tunggu aje, nanti juga naik”.

Tak butuh waktu lama. Kami bdua pun terhanyut dalam tawa dengan mata yang memerah. Yap semua pocong mini itu gue bakar tanpa ada sisa sama sekali.

Gue bahkan gak menanyakan perihal dari mana dan dari siapa ia mendapatkan barang ini. Yang jelas barang ini hampir selalu ada setiap harinya. Sementara itu, di sisi lain gue telah terhanyut dan keasyikan dengan fantasi yang di sebabkan gulungan mini yang meyerupai pocong itu. Dan hal ini pun berlangsung selama beberapa tahun secara terus menerus.

Di tahun berikutnya, tepatnya di awal tahun 2014 gue memutuskan untuk meninggalkan kota Bogor dan menuju kota Yogyakarta. Ada alasan lain yang menyebabkan gue harus mengambil cuti lalu bergegas ke Jogja. Dan sepertinya, bahasan ini akan kita bahas pada bab lainnya. Oke next.

Meski begitu, ini adalah permulaan lainnya dimana gue yang sebelumnya hanya sekedar pemakai kini menjadi seorang pengedar. Tentunya hal ini berlangsung ketika gue sudah memutuskan untuk tinggal lebih lama di Yogyakarta.

Ada beberapa alasan yang mendasar kenapa gue berani melakukan hal ini. Pertama, Ganja (cannabies) sangat jarang untuk di temui di kota jogja. Kedua, pemakainya banyak. Ketiga, keuntungannya bisa 2x lipat jika di bandingkan dengan keberadaannya di Bogor. Keempat, jogja bisa dikategorikan tempat yang aman atau safety untuk berbisnis Ganja (jual-beli).  Dan yang terakhir, hal ini harus gue lakukan dengan tujuan bertahan hidup (Survival).

Lalu pertanyaannya darimana gue mendapatkan stoCk Ganja?? Ya tentunya dari Bogor. Dan semua itu gue lakukan seorang diri yaitu: Melakukan perjalanan antar Bogor-Yogya setiap bulannya.
Perlu diketahui ada beberapa jalur aman untuk menghindari pemeriksaan baik polisi ataupun penegak hukum lainnya. Tentunya ini diluar jalur penerbangan (Pesawat) ataupun jalur darat (Kereta Api). Meski begitu hal ini tidak pantas untuk di bahas dalam paragraph ini. Okey kita next.

Akhirnya jogja menjadi puncak dimana gue bisa dengan leluasa mengendalikan baik sebagai pemakai maupun sebagai pengedar. Di lain sisi, muncul sebuah gerakan Legalitas Ganja yang cukup menghebohkan media pada saat itu. Tentunya pro kontra pun tak bisa dihindarkan. Dalam waktu yang bersamaan pula, Ganja kemudian dinyatakan sebagai solusi alternative dari sisi medis. Meski belum ada pengakuan secara resmi dari pihak pemerintah, Gerakan Legalisasi Ganja tetap mengobar dan berhasil memberikan edukasi terhadap masyarakan umum, lebih khususnya kepada para pegiat Ganja. Kelompok yang mengatasnamakan Lingkar Ganja Nusantara (LGN) sebenarnya bukan organisasi ataupun gerakan yang baru. Mengingat salah satu senior gue dikampus dulunya pernah terdaftar sebagai anggota aktif dari gerakan ini. Sehingga ketika gerakan ini berhasil menyedot perhatian public baik masyarakat awam maupun dari kalangan elit dari tatanan kepemerintahan gue tetap berdiri di posisi yang berseberangan.

                Pada intinya perjuangan Legalisasi Ganja harus di dukung secara sporadis apalagi dari kalangan terpelajar seperti golongan daripada Mahasiswa. Artinya edukasi perihal tanaman Ganja memang sudah seharusnya menjadi agenda yang di sebarluaskan dalam menanggapi perspektif masyarakat awam terhadap tanaman Ganja. Apalagi belakangan solusi yang di tawarkan dari ganja sangat bervariasi. Dari serat-seratnya, akar, batang bahkan sampai kepada daun-daunnya mempunyai kegunaan dan fungsinya masing-masing.

Berangkat dari pemahaman personal, gue akhirnya setuju jika Ganja (Cannabies) mempunyai hubungan erat dengan keberlangungan kehidupan bermasyarakat. Tentunya hal ini sudah di bahas berulang kali oleh gerakan LGN Indonesia di setiap kesempatan. Baik dari seminar maupun diskusi juga lewat media-media antimainstream yang ada. Hingga sampailah kita pada hari ini, fakta bahwa Organisasi LGN mulai menemukan titik terang dari perjuangannya selama 10 tahun kebelakang patut untuk diperhitungkan. Selamat “KALIAN LUAR BIASA”. Yap apapun itu Ganja bukan Narkotika. Meski begitu gue tak cukup pantas untuk menjadi bagian dari ini. So kita skip ae.

Kembali ke Yogyakarta, semua berjalan lancar tanpa ada Kendala berarti. Pernah suatu ketika stok di jogja mulai menipis dan gue harus kembali ke Bogor demi keberlangsungan bisnis yang telah gue rintis. Wanjaaayy.

Sekembalinya dari Yogyakarta, sistuasi di Bogor makin menggila. Peredaran Ganja di lingkungan kampus seolah tak mengenal jalur. Kata orang Bogor mah “mainnya jorok”.  Dan situasi ini harus gue hadapi di samping banyaknya kawan-kawan gue yang merintis bisnis yang sama. Jadi kalo boleh gua kasitau mah Ganja di bogor terlalu banyak. Ampe tumpeh-tumpeh njing. WTF gak??

Belakangan gue baru menyadari bahwa ternyata kampus gue adalah satu-satunya kampus yang menjadi Prioritas dari BNN dalam pemberantasan Narkotika jenis Ganja. Hal ini terbukti dengan seringnya terjadi penangkapan oleh BNN terhadap mahasiswa di lingkungan kampus. Bahkan para penegak hukum tidak segan-segan masuk dalam wilayah kampus untuk mengeksekusi atau menangkap target operasi yang telah mereka kantongi nama per nama-nya. Sebuah pemandangan yang bertolak belakang dengan atmosfir dan dinamika dunia pendidikan tentunya. Lebih sadisnya, pihak kampus telah bekerja sama dengan pihak penegak hukum. Bayangkan, aparatur kampus bekerja sama dengan polisi lalu menangkap mahasiswanya!? Anjing gak tuh!?

Yang lebih memuakkan lagi adalah setiap kali kejadian atau penangkapan, tidak sekalipun media yang meyoroti kasus penangkapan yang terjadi. Padahal kejadian seperti ini bahkan berulang kali hampir setiap bulannya. Usut demi usut ternyata pihak kampus telah meredam dan mengantisipasi akan kebocoran informasi semacam ini. Singkatnya “Lempar batu sembunyi tangan”. Yap kampus tidak akan mengambil resiko untuk pencemaran nama baik jika kemudian di soroti oleh media. Saik gak tuh!?

Yap secara personal gue punya kecenderungan yang bertolak belakang dengan semua kebijakan yang pernah kampus terapkan. Universitas akhirnya menjadi ladang bisnis daripada beberapa kelompok tertentu yang menjabat di structural universitas. Biaya kuliah yang naik setiap tahunnya, baik SSP, maupun SKS. Sampai kepada proyek pembangunan yang terus menerus dengan kedok perbaikan infrastruktur oleh beberapa kelompok yang mempunyai kuasa dan posisi di ranah universitas. Akan tetapi hal ini akan melebar jauh jika pembahasannya tetap berlanjut. Dan gue ga punya wewenang untuk menyatakan adanya tindak Korupsi diwilayah kampus ini. So sekali lagi kita skip.
Okeh di tengah maruknya pasar gelap perihal peredaran Ganja di Bogor, beberapa kejadian penangkapan oleh penegak hukum terhadap kawan-kawan sekitar membuat gue untuk berpikir 2x dalam melanjutkan bisnis yang telah gue rintis di Yogyakarta.

Ada beberapa cara yang akan gue paparkan perihal bagaimana caranya untuk mendapatkan Ganja untuk wilayah Bogor dan sekitarnya.

Pertama, dengan cara adu benteng. Ini hanyalah sebuah istilah dimana, lu menjalin komunikasi dengan seseorang yang lu gak kenal sebelumnya. Hanya mengandalkan telephone genggam untuk saling percaya dan mempercayai. Untuk masalah pembayaran, semuanya menggunakan system transfer. Istilah populernya “ada uang ada barang”. Transaksi semacam ini biasanya di lakukan di tempat terbuka atau jalanan umum, sehingga cara seperti ini paling beresiko. Karena bisa saja orang yang akan lu temui adalah seorang Polisi yang sedang menyamar. Serem kan?

Kedua, dengan cara antar jemput. Nah untuk jenis transaksi seperti ini bisa di katakan lebih aman atau (Safety). Jadi lu hanya menjemput barang sesuai tempat yang telah dijanjikan. Lagi-lagi transaksi semacam ini mengandalkan intruksi lewat telephone genggam.  Bedanya intruksi yang lu terima adalah dari orang yang telah lu kenal (Partner Bisnis) yang sudah tentu dapat di percaya. Biasanya barang (Ganja) telah di letakan di pinggiran trotoar, ataupun biasa di letakan di dekat tong sampah. Sejauh pengalaman gue, gue lebih sering mengambil barang di dekat tong sampah. Akan tetapi transaksi semacam ini tetap meninggalkan resiko yang sama. Bayangkan lu sedang di awasi oleh Polisi di ujung jalan lainnya. Tentunya lu baru akan di tangkap atau di ciduk ketika posisi lu sedang memegang atau membawa barang bukti yang tentunya adalah Ganja siap edar.

Dan yang ketiga, System orang ketiga. Cara seperti ini yang paling sering gue terapkan, pasalnya lu hanya tinggal menyiapkan uang kontan sesuai harga yang beredar di pasaran. Bahkan cara seperti ini lebih aman dan safety di bandingkan dua cara diatas. Transaksi semacam ini tentunya tidak berurusan dengan Bandar utama atau lebih tepatnya lu hanya berurusan dengan orang kedua. Tentunya cara ini terhindar dari intruksi lewat telephone dan yang lainnya. Jadi lu tinggal duduk manis dan di samperin atau istilahnya system delivery. Yoi kan!?? Su mantip su ngenah suruh pulang. Ckckckck.

Meski penerapan di lapangan akan berbeda, namun ketiga cara di atas selalu berkaitan dengan orang ketiga. Orang ketiga yang dimaksud disini adalah Bandar. Dan dari semua kasus yang pernah gue alami, rata-rata Bandar Narkoba jenis Ganja dikendalikan dari balik lapas atau bisa disebut dari dalam sel. Meski begitu sampai sekarang gue bahkan belum bisa membedakan mana Bandar sesungguhnya dan mana Bandar yang ecek-ecek sih. Wwkwkk. Karena semuanya butuh duit bro.
Sampai tulisan ini dimuat gue telah meninggalkan semua jejak di atas. Ada banyak alasan tentunya kenapa gue harus meninggalkan dunia gue dengan Ganja. Pertama, banyak dari kawan-kawan gue yang kemudian berakhir di penjara. Kedua, bisnis Ganja tak lagi menjanjikan bahkan UUD Narkotika terbaru me-nomer satukan Ganja sebagai Narkotika golongan satu. Ketiga, sudah saatnya untuk berubah. Dan tentunya butuh adaptasi baru untuk memulai permulaan ini.

Gue sadar klaim seperti ini tidak selayaknya untuk di sebarluaskan. Tapi gue percaya, bahwa sudah saatnya kita untuk kembali menanam apa yang seharusnya di tanam. Dan itu adalah tanaman Ganja. Bukankah sebagian besar dari kita adalah para petani? Bayangkan jika Negara mendukung dan mem-fasilitasi para petani Ganja. Yap gue tentunya akan dengan senang hati menjadi seorang petani seperti apa yang pernah nenek moyang gue ceritakan. Buruh-tani-nelayan adalah identitas kita sebagai orang Indonesia. Panjang Umur Pejuangan.

Sebagai penutup, kenapa orang miskin di larang mabuk, Sementara orang kaya di perbolehkan? Oplosan dilarang tapi minuman impor boleh di perjual belikan. Kebun Ganja di musnahkan sementara Negara tetangga membudidayakannya. Banyak orang di perbolehkan menenggak alcohol tapi kenapa segelincir orang di tangkap hanya karena menanam Ganja.

Benar-benar paragraph yang membingungkan, Indonesia dan birokrasi yang terbalik.  Sampai jumpa di esok hari.

BYE boy bye girl.

Canggu, Bali 21 April 2019.