Bagian 24



                Gak perlu berbangga soal menulis. Menulis hanya perihal mengambil sebuah ruang untuk berbagi. Sebuah ruang untuk mengambil kendali proyek-proyek pembebasan dirimu atas orang lain. Maka tak perlu jumawa apalagi ber-besar kepala dan menarik batas antara hidupmu dengan orang lain. Seolah mereka adalah segalanya sementara kita tidak! Itu salah.

Menjadi “berarti” adalah ketika ruang itu mampu kau geluti dengan serius, sedikit cemas tapi bermakna. Arah dan tak berarah. Karena masih banyak ruang kosong dan aktifitas lain yang tak kalah penting dari menulis itu sendiri.

Jangan sesekali berfikir untuk mengurung diri dalam kamar, sehingga kawan-kawanmu, kolega-kolegamu berkata : Hei kamu itu penulis. Penulis sungguhan. Maka berkaryalah, itu adalah kewajiban!

Tidak…

Cukup bagiku berada di pelataran, di tepi-tepi tembok restoran, atau di sekitaran batu karang pantai tak bernama. Sehingga dengan mudah menghirup udara yang gratis, melihat matahari di ujung cakrawala. Sembari berujar, mari siapkan rencana proyek penghancuran segala kebekuan dan kekakuan hidup di sekelilingmu. Lakukan sekarang juga. Bakar!

Akulah si pejuang itu.

                Si pejuang yang begitu riang bahagia menyongsong ruang kebebasan. Ya beberapa tahun silam, ketika hidup adalah penjara bagi beribu mimpi di kepala. Aku tetap berdiri walau sempat tumbang. Senyum itu tak pernah pudar walau badai melintang. Bahkan ketika kenyataan yang dijalani berubah makna menjadi sebuah kutukan yang menakutkan. Dihindari, diingkari, dan diperankan sebagai lakon yang setengah hati dengan sejuta kegagalan dari setiap langkahnya. Meramu merana sepasang kekasih. Kekasih yang memilih pergi entah kemana.

Lalu ketika kehidupan berpindah ruang dan waktu, rantai-rantai itu seperti menguap ke udara. Melebur dengan polusi-polusi oksida, sehingga tulang-tulang dengan seonggok daging yang merantai diri sebelumnya, perlahan terlepas dari belenggu-belenggu yang mencekram.

Ya selamat datang keakraban!

Siapa yang bisa terbang?

Siapa yang bisa melayang?

Siapa yang bisa menerawang?

Siapa yang bisa melanglang?

Siapa yang bisa melayari?

Sekian pulau!

Sekian peristiwa!

Sekian tawa!

Sekian tangis dan ringis!

Sekian riang dan murung!

Lalu siapa yang berjumpa dengan begitu banyak macam manusia?

Begitu banyak jiwa, begitu banyak cerita.

Ada ruang yang sama, persis sama.

Tapi ada juga ruang yang berbeda, berbeda sama sekali.

Ada banyak yang tergesa-gesa, terseok-seok, bahkan tidak ada kebahagian sama sekali menjalani hidup. Sementara sebagiannya lagi, begitu bebas melakukan apa saja! Hari ini berjemur di pantai, besok berlibur ke kebun binatang, lusa mengecek kembali kesehatan di rumah sakit.

Waktu bagi sebagian orang adalah hantu yang terus memburu, memaksa mereka untuk terus berlari, tanpa berhenti walau sejenak, membersihkan keringat di dahi, mengusir duri di kaki, atau bermain petak umpet dengan anak para tetangga. Sementara di lain sisi, waktu adalah taman dengan fasilitas kolam mandi sejuta wewangian, kursi untuk bersandar, danau untuk memancing, dan kamar remang 5 watt untuk bercinta sepuas hati.

Banyak yang terbata-bata mencari garis finish menempatkan sekian mimpi akan sebuah kebahagian di kepala mereka. Sementara sisanya terus berdoa mudah-mudahan Tuhan terus menjaga mereka seperti sebagaimana adanya. Banyak yang mengelu-elukan kebahagian, dan siap mengantri seraya memegang tiket masuk untuk menuju kesana. Banyak orang pula mencari surga yang lain, kebahagian kelas lanjut.

Tapi tiba-tiba hidup bertanya pada dirimu, kamu berada di bagian mana sayangku?

Avidya Jelia Vitalis Evolusia Bakteria menjawab:

Nah, kini aku dilanda kebingungan yang keras. Mimpi yang bertahun-tahun kuperam dalam panas kepala terus mengeras. Hendak retak. Lalu hancur mengeping. Mengering untuk kemudian menyatu dengan aerosol…

Bagaimana menyusun kembali konsep kebebasan ketika pilihan yang rumit berdiri diujung hidung?

Bagaimana bersikap kepada kebebasan yang kini menampakkan wajah garangnya?

PENGHANCURAN DIRI adalah bentuk pencarian ulang dari komitmen bersikap. Susun kembali diri agar utuh menjadi manusia. Orang boleh berbeda dalam beberapa hal. Tapi, untuk menjadi bahagia adalah hak semua orang.

Apapun caranya, semua orang harus merebut kebahagian mereka kembali.

Bagaimana sayangku??

Untuk sekedar menipu orang-orang, aku kembali menciptakan sandiwara baru. Sesungguhnya, telah ku temukan dunia yang ternyata tak nyaman untuk kuhuni. Teruslah bekerja sayang… ayo teruuuss...

21 feb 2020 Canggu, Bali.

Bagian 23


The hate you give 2PAC

                THUG : Apa yang kau benci itu yang kau dapatakan.

Apakah ini menjadi pertanda bahwa kebanyakan orang membenci hal-hal yang ia tak pahami adalah sebuah kebenaran mutlak, lalu gue adalah salah satu dari kebanyakan orang itu!? Wwkwk bangsat, jika iya. Ini jelek banget! hahaaha

Pertama, bersyukur itu butuh hal untuk disyukuri.

Kedua, tidak semua masalah bisa selesai dengan “sudut pandang”.

Ketiga, Tuhan memang adil. Tetapi mekanisme kerja dalam bekerja belum tentu adil.

Lalu bagaimana jika ternyata “Diri sendiri adalah hal yang paling sulit dimengerti?”

Bah, begitu banyak pertanyaan tapi terlalu sedikit memberi jawaban.

Gundah gulana macam apa ini?

                Pada akhirnya sikap gue adalah boomerang atas diri sendiri. Misalnya, ternyata semua keributan itu adalah perkara yang telah gue perbuat. Atau, ternyata gue hanya sosok yang malah menimbulkan beda pendapat dan percekcokan antara satu bahkan lebih dari dua orang. Atau juga, ternyata gesekan yang gue timbulkan rupanya menjadi percikan api yang kemudian membesar dan membakar orang disekitarnya. Hanjing gue ga terima jika sebodoh itu.

Ya pekerjaan membuat gue benar-benar frustasi! Stress out

Padahal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang menjadi visi misi selama gue menginjakan kaki di pulau dewata tanah Bali. Tapi mungkin juga ini menjadi pembenaran bahwa kemarin gue adalah orang yang hampir gila ketika bersusah payah mencari pekerjaan, maka hari ini kegilaan gue menjadi sempurna ketika sudah mendapatkan pekerjaan. Kegilaan yang benar-benar menjadi sempurna!

Ya waktu memang berlalu sangat cepat.

Bulan depan adalah bulan penanda bahwa gue sudah satu tahun bergerilya di Bali. Gue sering mengatakan gue suka bulan maret. Sebab bulan maret juga menjadi penanda hari kelahiran gue, sebuah ritual perayaan ulang tahun yang bahkan baru “sekali” gue rayakan selama perjalanan Panjang ini. cckkck millennial yang menyedihkan.

Oya, sohib gue telah memutuskan untuk berhenti dari tempat kerjanya dan memutuskan untuk memulai karir sendiri. Nampaknya doi mencoba untuk menerapkan praktek independent ketimbang mengharapkan upah bulanan dari perusahaan. Yess gue support keputusan ini. I proud for u brada…

Awalnya gue sempat khawatir. Karena selama ini gue berdua berada dalam profesi yang sama, satu departemen dengan poksi yang berbeda. Hal ini PULA menjadi alasan gue nyaman dan enjoy selama bekerja disana. Setidaknya itulah yang dulu gue pikirkan. Mungkin lebih tepat ini penyebab “gue keenakan”.

Terlepas dari keputusannya untuk re-sign, gue sedih karena ditinggalnya. Tentunya gue akan melanjutkan gerilya ini seorang diri. Bukan semata urusan pekerjaan, hanya saja kesenangan-kesenangan yang sudah terencanakan akan menjadi wacana semata tanpa ada realisasi berarti.

Ya mungkin di kepala gue hanya ada pikiran untuk bersenang-senang, ke pantai atau ke gunung. Atau sekedar mabok-mabokan di malam minggu. Sementara disisi lain, doi sudah bosan terus berada difase stagnan disposisi non produktif, berjalan di tempat. Ya sekali lagi gue bisa terima jika alasannya demikian. Maka dengan ini pula gue bisa leluasa untuk mengungkapkan bahwa yang mahal itu kepercayaan, yang tak dijual itu kesetiaan “kawan sejati susah dicari, kawan sejati tak bisa dibeli”.

Ya mungkin ini pula menjadi jawaban bahwa belakangan gue sangat sensitive dan meledak-ledak jika ada perbedaan pendapat. Terlebih selama jam kerja berlangsung. Ya gua “anti” terhadap orang-orang dengan pola urusan pekerjaan yang dibawa pulang sampai kerumah. Menurut gue pola semacam ini tidak menunjukan ke-profesional-an sebagai seroang karyawan. Kerja ya kerja, abis di tempat kerja. Bukan sebaliknya dituntun sampai kerumah. Notife handphone yang terus berdering, dengan sejuta tanda tanya dari rekan-rekan yang sama bahlulnya. Goblok emang.

Ya meski riskan, gue harus berterus terang bahwa gue mulai suntuk dengan dialetika dramatoris ini. drama-drama di tempat kerja sangat mempengaruhi kinerja. Terutama memancing cekcok dan menyulut emosi. Benar itu biasa, sementara salah itu luar biasa. Menyedihkan bukan?

Gue bertanya-tanya, apakah yang menjadi berarti dari bagian ini?

Maka untuk sesaat gue mendapat jawaban bahwa semua masalah yang timbul sudah jelas muncul dari diri gue sendiri. Semoga memang benar bahwa evaluasi terhadap diri sendiri adalah sebuah refleksi terhadap pendewasaan dalam bersikap dan menyikapi segala sesuatu terkait pekerjaan. Berhati-hatilah dewasa itu jebakan!

Akan menjadi relevan dan tetap menjadi relevan : Apa yang kita rasa, apa yang kita lihat, dan apa kita terima, semua karena kita sendiri. Sekian.

10 februari 2020 Canggu, Badung, Bali.

Bagian 22


Seringkali kita tak mencatat momen penting dalam hidup ini. Saat itu terjadi, kau malah menganggap penting ketika sudah mengingatnya. Cobalah sesekali!

Gue sempat berpikir bahwa gue telah menjalani hari-hari buruk dalam hidup ini. Tapi ternyata salah, ada hal lain yang lebih buruk. Bak perputaran roda, tiba-tiba kau seolah menjadi selebritas sampah. Kau menjadi orang lain, bahkan pada dirimu sendiri. Kau bahkan tak bisa kembali menjadi dirimu yang sebelumnya. Entahlah, tiba-tiba saja sulit mengatakan bahwa gue baik-baik saja.

Akan tetapi, sebaliknya gue dalam kondisi yang sehat-sehat saja. Bahkan secara fisik berat badan gue bertambah drastis. Kata reorang gue jadi gemuk. Ya gue bersyukur, pelampiasan yang tepat untuk menghabiskan uang untuk jajan yang menyehatkan. Di titik yang lain, gue nyaris tak merasakan apa-apa lagi. Mungkin yang gue maksud ini adalah beban, baguslah jika demikian. Lalu jika iya, apakah ini bisa menjadi kekuatan super? Arrgghh gue butuh beberapa linting untuk mendapatkan kekuatan super power. Hiyya hiyyaa.

So mungkin ini yang disebut ironi, kerja itu sangat membosankan. Di kelilingi lingkaran para penghasut yang berstandar ganda, iya orang-orang ini seperti anjing. Tapi dalam arti yang positif. Muehehe, gak pake guk guukk. Sesungguhnya ini adalah kali pertama dalam hidup ini gue lebih banyak bersyukur, juga sekaligus sering mengeluh. Abstrak bukan? wkwkk

Ehh tapi belakangan gue cenderung menjadi paranoid, ini disebabkan setelah gue terlibat percekcokan di lampu merah beberapa waktu yang lalu. Iya, gue bahkan baku hantam dengan bocah ingusan yang sosoan belaga belagu di depan pacarnya. Kampret emang, dikata gue takut apa. Sini lu ngentot ama tragedy! Fxck! Tapi setelah kejadian itu gue menjadi takut kemana-mana. Lebih banyak waspada, dan lebih berhati-hati tentunya. Tau dah ahh puyeng. ckckckk 

Gue benci kondisi semacam ini. Semakin banyak yang ingin diungkapkan, semakin sukar pula gue untuk menulis? Kenapa? Apakah baik ketika gue nyaman untuk menulis tapi kemudian dipaksakan? Fxck lah ahh!

Terus terang, gue merasa aneh. Sangat aneh. Semoga perasaan ini tidak bertahan lama. Semoga.

Siapa yang pernah merasa menjadi kuda hitam dalam persaingan? Ya gue merasakan itu di lingkungan tempat gue bekerja. Rasanya seperti kuda poni di sebuah pertunjukan. Semua orang seolah meragukan kemampuan yang gue punya, ya gue harus berbesar hati kalo ini wajar. Maklum lah anak bawang. Ckckckk. Ya pada dasarnya gue harus menerima ini agar gue tak serta merta menyalahkan mereka (rekan-rekan kerja). Percayalah gue masih mau berada disini. Hoaamm.

Pada kenyataannya semua nampak suram buat gue, mengingat banyak hal yang telah gue abaikan sebelumnya. Meski begitu ibu gue pernah berucap:; betapa pun buruknya kehidupan, selalu ada hal baik di sekitarnya. Tinggal bagaimana caranya agar tetap fokus pada hal baik itu. Mungkin saja hal baik saat ini adalah Pekerjaan. Hmmp.

Kadang-kadang pula gue sangat benci untuk bangun pagi, harus mandi, berpakaian rapi, lalu berangkat ketempat kerja dengan mata yang perih. Ya gue bisa saja berpura-pura untuk menikmati rutinitas ini. Bahwa gue mempunyai kesempatan untuk membenah diri agar lebih baik. Selayaknya orang kebanyakan misalnya. Ngarep!

Siapa yang sudah mencoba “Hidup” sebagai orang baru dalam hidup ini? GUE!

Ada titik lain dari perjalanan hidup ini ketika gue hidup sebagai orang baru. Dan ternyata ini semua bukan tentang gue semata. Masih banyak melampui diri gue itu sendiri, missal : Ini tentang sahabat, tentang kolega, tentang orang sekitaran gue saat ini. Baik di tempat gue bekerja atau juga di tempat dimana gue tinggal. Ya para tetangga yang murah senyum itu. Terimakasih semesta, untuk bagian ini gue harus berucap Terimakasih dari lubuk hati yang paling dalam. Thx God!

Ya sejujur-jujurnya gue senang menghabiskan waktu di Bali. Momen semacam ini seperti melepas perban, pertanda sembuhnya beberapa luka lama. Ya mungkin, dan tetap saja mungkin. Disini gue merasa lebih tenang, untuk pertama kalinya sejak lama. Sedih dengan yang pernah berlalu, tapi tenang dengan keadaan yang sekarang. Ya gue selalu meyakinkan diri untuk bertahan dengan rencana ini, seolah ini merupakan tujuan baru. Intinya gue harus melanjutkan hidup. Itu saja.

Tapi kenapa selalu saja ada yang tak beres? Misalnya melakukan hal yang benar tapi terasa seperti melakukan kejahatan. Apakah seseorang bisa sangat lelah hingga dia tak lagi merasakan batasnya? Gue seperti meleleh tapi bukan dalam arti positif. Lagi-lagi hmppp.

Hidup ini cukup canggung, mungkin sebaiknya gue harus bersikap baik kepada semua orang. Ada orang yang berbahaya ada pula orang yang aneh. Mungkin saja ini adalah keseimbangan yang setara. Tapi kenapa lebih banyak orang yang tidak waras ketimbang mereka yang waras? Ckckckk kocak!

Apakah ini bisa menjadi kejahatan besar? Ketika gue dengan egois menghakimi kebanyakan orang bahwa mereka sudah gila! Sepertinya tidak, mereka pantas mendapatkan itu.

Sampai dimana kita?.....

Ahh tidak rupanya kita sudah di penghujung tahun. Sebentar lagi tahun baru. Mari berharap pada keajaiban agar batu loncatan di penghujung tahun ini bisa merubah diri yang leha-leha ini menjadi pribadi yang lebih produktif. Cheerrrss.

Canggu 16 Desember 2019

Bagian 21


               “Tidak peduli bagaimana pun kau yang berusaha keras melupakan, semakin keras kau membenci semakin nyata pula ia hadir di nadirmu”.

Yap beberapa bulan ini roda keseharian gue seolah berhenti. Stagnan, lalu perlahan menjadi pasti bahwa apa yang gue lakukan atas tindak laku ini adalah sebuah kepastian untuk kembali pada kata semu. Ya sebuah kesemuan seperti sediakala. Hambar dan tiada berarti.

Tepat satu bulan kemarin, telephone genggam gue berdering nyaring. Seketika terpampang sebuah nama yang tidak asing. Bagaimana bisa gue membahagiakan orang lain? Sementara gue bahkan tidak sanggup membahagiakan diri sendiri? Pertanyaan lama muncul di titik nadir setelah untuk beberapa saat gue merasa berhasil untuk mencintai diri gue sendiri.

Hallo apakabar?
Tanya suara di ujung telephone.
Ya gue baik-baik saja. Dan sepertinya gue sangat baik-baik saja belakangan ini.
Sahut gue.
Ada sesuatu yang harus gue sampaikan, tapi gue butuh waktu yang lebih Panjang untuk menyampaikan ini.
Ucapnya lagi.
Tanpa keberatan, gue pun menyanggupi permintaannya dan bersedia mendengar ceritanya dari ujung telephone.

                Ya untuk kesekian kalinya dia mucul dan menyampaikan keluh kesahnya. Tidak ada sedikit keraguan pun ketika gue mulai membuka diri untuk merespon segala gelisahnya. Tentang kuliahnya, tentang keluarganya, bahkan tentang kekasihnya yang konon katanya belakangan mereka lebih sering cekcok dan adu pendapat. Untuk sesaat gue menikmati itu.

Akan tetapi dalam lubuk hati yang paling dalam, perasaan gue berkecamuk. Batin gue bergemuruh. Apakah ini kesempatan kedua buat gue untuk memulai kisah lama ini? setidaknya berusaha memperbaiki apa yang dulunya sempat kandas. Gue ragu, tapi gue menepis keraguan itu.
Alhasil, sampai catatan ini dibuat. Gue benar-benar jatuh dalam lubang yang sama. Sakit dan teramat menyakitkan.

Rupanya, telephone itu menjadi berlanjut. Malah menjadi sebuah rutinitas. Bahkan tak sehari pun yang terlewati tanpa bercengkrama satu dengan yang lainnya, tenggelam dalam tawa riang di sela cerita yang gue berdua bangun dalam kurun waktu hampir sebulan. Ya disatu sisi gue mengabaikan jarak dimana gue dan ia berdiri.

Tak ada sedikitpun rasa canggung, gue menikmati momen ini dan ia pun sebaliknya.

Di suatu kesempatan ia berucap
Gimana kalo setelah wisuda gue berangkat ke Bali? Mungkin gue bisa memulai rasanya sensasi dunia kerja untuk pertama kali di kota Bali. Ucapnya lagi.
Ya lu mesti kesini, gue punya banyak tempat yang harus kita singgahi Bersama.
Balas gue dengan penuh yakin.
Sambil tersenyum ia mengangguk setuju dengan matanya yang berbinar.
Mungkin dengan kesempatan ini pula, kita bisa memperbaiki segala sesuatu yang dulu benar-benar kacau dengan hubungan asmara kita.
Gue kembali berujar namun ia hanya diam.

Tahukah kalian, siapa dia? Ya ia adalah alasan paling kuat ketika gue memulai Salinan ini. Ia adalah wanita yang pernah membuat gue jatuh cinta pada masa lampau. Dan ia adalah wanita yang melahirkan kedua putri kembar gue ke atas dunia ini. Ya gue ga perlu segan untuk menyatakan bahwa dia adalah mantan istri yang teramat sangat gue kasihi. Gue rela berbuat apa saja demi dirinya, itu adalah sumpah. Tapi itu semua terjadi pada masa lampau.

Gue bahkan mengingat dengan baik, dimana ia begitu senang dan girang ketika di berikan sebuah bunga. Katanya itu romantis.

Bahkan tidak jarang gue dengan sukarela memberikan bunga secara berkala. Ya meski keperawakannya jauh dari kata feminis, tapi ia selalu suka di perlakukan selayaknya perempuan. Bunga dan coklat, ia membencinya tapi tak juga menolak jika itu adalah hadiah.

Bahwa, mungkin sampai sekarang ia masih menjadi perokok aktif, dari suaranya yang kian serak gue bisa memastikan itu. Akan tetapi dari pengakuannya ia telah lama meninggalkan alcohol atau semua yang hal yang cenderung memabukan. Ya gue sangat percaya diri untuk menghafal betul segala sesuatu tentang dirinya. Apalagi sifat keras kepalanya yang sangat identik dengan peringainya.

Entahlah dua sampai tiga tahun gue berusaha melupakannya, dan dalam waktu itu pula gue berada pada titik kenihilan. Lagi-lagi sebuah nilai semu tanpa ada artian yang berarti.

Dia datang lagi, dan gue membuka lebar-lebar hati gue untuknya.

Tapi tahukah kalian bahwa perpisahan gue dengannya benar-benar menyakitkan pada masa lampau? Ahh gue bahkan tidak punya penggambaran yang tepat untuk menceritakan bagian ini. Hati gue telah hancur, bukan hanya satu kali, bahkan berulang kali. Lagi, lagi dan lagi.

Dan hari ini, gue mendapati itu lagi.

Suatu saat kau pasti menikah lagi,
dan kemungkinan besar bukan denganku.
Suatu saat, mau tidak mau
Aku juga harus merelakanmu.
Aku harap, kau benar-benar mencintainya.
Sebab, jika tidak
Aku takut masih tetap diam-diam berdoa, Untuk bisa berdiri di tempatnya
Mungkin, dalam sisa umur hidupmu.

Tolong beritahu aku bahwa ini adalah KESALAHAN!!!






Bagian 20


           
          Mungkin tidak ada sebuah pelajaran penting yang bisa diambil dari catatan ini. Bahwa hidup yang baik-baik saja tidak mencerminkan kebahagiaan yang absolute. Bahwa hidup yang berantakan mungkin terasa lebih menyenangkan. Bahwa mungkin, dan tetap mungkin. Gue lebih suka jika catatan ini cenderung mundur kebelakang lalu maju kedepan. Misalnya ternyata gue tidak berasal dari keluarga yang berantakan, atau juga relasi pertemanan gue yang menyebar luas dan dipenuhi aura positive adalah bentuk sinergi sefrekuensi yang perlu dijaga. Ingat, Energi negatif terbesar diperoleh dari banyaknya berinteraksi dengan orang-orang yang tak sefrekuensi. Lalu sampailah kepada hubungan asmara gue yang berhenti di istilah “kebebasan kebablasan”. Yap, pada akhirnya gue mendapatkan amanat yang berat yakni dikaruniai dua orang putri kembar dari hasil hubungan gue dengan salah seorang perempuan yang pernah menjadi idaman dan tambatan hati di waktu lampau. Bahkan sampai sekarang gue masih bingung diantara gelisah atau bersyukur. Please forgive me. 

Tetapi masalahnya, gue selalu menginginkan lebih dari apa yang ditawarkan oleh kehidupan modern. Gue ingin melihat semuanya dan mencoba segalanya. Bercinta dengan siapapun yang gue mau, merasakan lelahnya menuju puncak gunung, atau juga merasakan indahnya pagi hari di pantai sambil menanti mentari, lalu menghindari sesaknya kota-kota besar, dan melewati batas misalnya; mencuri apapun dari mereka yang layak dicuri. Makan gratis, minum gratis, baca buku gratis. Dan lain sebagainya.

Kembali ke kata MUNGKIN, Iya dulu mungkin gue terlihat buruk, dan memang buruk. Tetapi setidaknya gue melakukan keburukan-keburukan dengan kesadaran penuh. Lalu ketika menatap kembali di saat hidup gue bermula, sesaat sebelum gue benar-benar memantapkan jalan menuju hidup yang lebih layak untuk dihidupi, sebelum menjelajahi perjalanan hidup gue di Bali tentunya. 

Sebagaimana espektasi yang memendam saat ini. kala itu, gue masih terlalu takut untuk kehilangan. Gue cemas akan kehilangan barang-barang, kehilangan uang, kawan-kawan, keluarga, kekasih, bahkan juga pada akhirnya gue terlalu takut akan kehilangan nyawa disaat gue merasa belum siap untuk mati.

Toh pada kenyataannya kita semua akan mati, tapi tidak seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti kapan kita akan mati. Dengan demikian , selamanya kita tak akan pernah siap untuk benar-benar mati. Karena selama waktu hidup, kita tidak pernah benar-benar hidup. Tetapi melihat kembali hidup yang dulu, yang penuh dirundung kecemasan dan ketakutan, tetaplah menyenangkan sekaligus pantas untuk ditertawakan. Maybe yes maybe no.

Sebuah utas pernah menyebutkan “ Dengan melepaskan keterikatanku pada benda, segalanya menjadi mudah. Aku tak lagi mudah dibebani perasaan bersalah dan moralitas. Aku menjadi bebas. Terdapat sebuah korelasi antara Ketidakmelekatan pada benda dan kepuasan: semakin kita tak melekat pada benda semakin menyenangkan hidup kita. Hidup semakin ringan”. Kira-kira demikian.

Atas dasar ini, gue seolah-olah mendapat dan atau menjadi orang yang tercerahkan. Seakan-akan sadar “bahwa” gue harus berterimakasih pada kekasih yang pernah meninggalkan gue. Pada dia yang pernah merebut hati gue, sehingga  ia tak pernah lagi bersedia meluangkan waktu, keintiman dan keberadaan atas protes terhadap maruknya keegoisan dalam diri gue .

                Dan bahkan beberapa waktu lalu gue begitu hancur dan marah dengan kalian semua. Tetapi ketahuilah kini semua perlahan mulai berbeda dan berubah, kalianlah justru menjadi guru-guru yang mengajarkan tentang kesadaran bahwa “tak seorangpun seharusnya memiliki apapun agar tak terikat pada apapun dan dengannya manusia akan menjadi bebas”, walau dengan cara yang menyakitkan. Ingatlah, bukankah seringkali hanya dengan cara itulah manusia mampu belajar? Lantas, apakah kita pantas untuk menolak memiliki benda seperti bayangan kebanyakan orang-orang? tidak, kita harus menolak melekatkan hidup pada benda.

Perlu ditambahkan juga bahwa gue pernah merasakan benar-benar hidup ketika mengerjakan project acak membuat zine. Setidaknya didalam zine gue menemukan cara hidup yang lebih menarik. Hidup brassa lebih hidup. Bebas dengan kata-kata yang absurd, atau juga bebas menulis kalimat-kalimat hardikan. Tanpa khawatir atas ketersinggungan oleh batas-batas norma yang belakangan menjadi acuan dan aturan dalam passal yang kontroversial. Pemerintah benar-benar sakit, f*ck lah persetan dengan mereka.

Tapi lagi-lagi mungkin, bagi seorang manager kantoran di sebuah tim kreatif tempat hiburan di Bali akan bertanya-bertanya mengapa gue lebih memilih memainkan blog di tengah momentum dimana gue dirundung tuntutan performa beban kerja temporer sebagai Audio Visual di tempat gue bekerja sebagai karyawan tetap.

Oleh karenanya, semakin kesini semakin terngiang di kepala bahwa satunya-satunya jaminan dalam hidup yang benar-benar hidup adalah membiarkan semuanya mengalir seperti air, hulu-hilir.

Apakah menjadi buruk? Ketika upah bulanan tidak lagi menjadi jaminan?

Tidakkah engkau pernah mendengar seseorang pernah mengatakan bahwa satu hari dari hidup seorang penjelajah seringkali lebih terisi dengan kenangan dan kejutan dibandingkan hidup sebulan atau setahun dari seseorang yang mengabadikan seluruh waktu hidupnya untuk bekerja dan hidup sesuai aturan? Mungkin memang lebih banyak kesalahan dan kekacauan yang dibuatnya dibandingkan dengan apa yang dihidupi oleh seorang pekerja yang hidupnya seperti mesin.

Lalu apa alasan yang paling mendasar sehingga catatan ini menjadi Salinan dalam blog ini? ahh entahlah. Yang jelas gue masih baik-baik saja hingga salinan ini dimuat. Anggaplah ini adalah perlengkapan tempur bagi seorang pria hitam daki yang kurus ini.

So gutnite girl gutnite boy, sampai jumpa di lain waktu. Cheersss!!

Canggu, badung, Bali 06/10/19


Bagian 19



                Semakin kesini gue semakin ingin kembali. Memang benar semua kebodohan dan penyesalan yang pernah ada menjadi pelajaran penting yang harus jadi pertimbangan dalam mengambil keputusan dan juga menarik sebuah kesimpulan. Lain lagi dengan senyum sinis dari canda tawa palsu sudah menjadi penanda bahwa orang-orang pro muka dua (munafxck) akan selalu ada dimanapun kita berada. Hal ini seperti berada dalam lingkaran setan.

Tidak seperti awal dan a/ akhir, gue hanya muak dengan proses-proses bermakna yang diselingi tindak laku dengan pola pencitraan diri seolah-olah mereka maha benar dan maha bisa. Ya gue masih gak habis mikir “kenapa sih pekerjaan menjadi landasan pacuan persaingan?” Ya, bagi gue bekerja adalah mengais rezeki. Mencari yang halal sembari berharap menuntut progress menuju pencapaian. Bukan arena tanding apalagi medan rivalitas. Iya jika itu rivalitas yang positif, gue setuju.

Dampaknya, penyakit bosan indifference seketika menjamur dan menular seperti sediakala. Sehingga retorika aktivitas dalam bekerja yang dipenuhi drama-drama dan adu citra sangat-sangat membuat tidak nyaman, membosankan dan juga memuakan.

Awalnya gue kira cuman dalam kegiatan ber-Politik, intrik-intrik seperti standar ganda dimainkan. Di depan bicara A, di belakang bicara Z. Rupanya gue salah, dan yang paling menyebalkan adalah dimanika atau action-action semacam ini di perankan oleh orang-orang yang mengaku sebagai rekan kerja. Kan taik!!!!

I think this is wrong, fxcing bullshit!!!! And now I need somebody to talk about my work. Kita lihat sampai dimana gue bertahan!?

Oia perlu gue informasikan bahwa ini adalah bulan keempat gue bekerja. Ya akhirnya gue benar-benar tercatat sebagai karyawan disalah satu perusahan (Beach club, wahana hiburan, wisata keluarga, International school) dll. Tentunya perusahaan yang satu ini terbilang megah & ternama di kawasan Canggu, Badung, Bali.

Kalok dipikir-pikir sih gue termasuk orang beruntung bisa bekerja ditempat ini. Setidaknya bisa memperkaya diri sendiri dan memperlancar pemasukan dari segi keuangan. Awokwokwkwook.

Lalu, Apa perlu gue ceritakan juga bagaimana situasi dan kondisi di tempat gue bekerja? Ah tidak, ini bisa berubah menjadi a/ semacam membuka kartu jahad dari perusahaan tempat gue bekerja. So skip ae.

Anyway apakabar boy apakabar girl?

                Sebenarnya sih porsi gue bekerja terbilang cukup sederhana. Lebih kepada monitoring dan maintenance. Dalam sehari 8-9 jam kerja, Itu pun ketika berlangsung event. Maklum perusahaan di tempat gue bekerja sedang bergerilya dalam usaha promosi sehingga tidak jarang pengadaan acara seperti event sangat dibutuhkan sebagai media promosi yang strategis. Dan hal ini dilakukan oleh perusahaan secara berkala sesuai Waktu, Hari, dan Tanggal yang telah ditentukan. All according to plan.

Dan dari sekian rutinitas yang gue jumpai setiap hari, ada satu hal yang paling menarik sejauh ini. Yaitu ini adalah kali pertama gue bekerja sebagai karyawan formal dan mempunyai atasan seorang Bule (WNA).

Edan poko na mah. Boss gue berasal dari Australia dan dia sangat agresif dan anti protect terhadap staf-stafnya.

Hey Muhamed how are you?

Im good sir!

Everthing is good?

Yeah sir, everthing its ok and already!

Remember, work using the brain not muscles.

ckckckk.  

Dalam satu minggu, ada beberapa hari yang terhitung rawan krodit (jam sibuk). Yaitu jumat, sabtu, minggu. Sehingga sangat diharapkan kerjasama tim pada ketiga hari yang telah disebutkan ini. Maklum performa kerja, sangat tergantung pada complain-an para tamu yang datang secara random. Sehingga apabila terjadi sedikit saja mis-komunikasi, terlebih ketidakpuasan daripada tamu yang datang maka akan berakibat sangat fatal.

Gue pernah diomeli gegara volume TV,. bayangkan hal sekecil ini bisa saja menjadi perkara Panjang dan berkelanjutan. Intinya, insting dan inisiatif sangat diperlukan untuk memperhatikan secara mendetail terhadap semua equipment dan atribut departement. Demi menghindari complain-an dari pada guest. Terlebih jika ada evaluasi dari manager of departement (MOD).

Belakangan gue JADI faham bahwa “Bule kalok belum ngomel-ngomel itu berarti dia belum Profesional”. Ingat itu. Dan boss gue sangat identik dengan perkara ini. Singkatnya lu salah, AUTOBACOT! Ckckckk.

Sementara itu, ada satu Regulasi yang digunakan di tempat gue bekerja terhadap para tamu (Guest). Yaitu SYSTEM membership. Keanggotan tamu yang diklasifikasi kedalam beberapa golongan. Dari beberapa golongan ini pun mendapatkan servis yang berbeda-beda pula.

Sejauh sepengetahuan gue, mereka membayar secara berkala baik per-bulan ataupun per-tahun. But, gue masih butuh informasi yang valid dan mendetail perihal ini. Jadi, sekali lagi kita skip.

DON’T THINK TWICE

                Belum setahun gue bekerja dan laka-liku rotasi perputaran roda perihal “kerja” cukup menguras energi dan fikiran. Mungkin gue lupa, bahwa tantangan dalam bekerja adalah persaingan. Lagi-lagi gue harus meyakinkan diri bahwa ini adalah bentuk rivalitas yang sehat. Setidaknya gue harus berfikir dua kali untuk tidak “menyalahkan” orang lain. Terlebih urusan dan a/ performa ketika bekerja. Yeah, I will be ready if compete fairly.

So nampaknya akhir minggu ini SCHEDULLE event yang padat akan menjadi keseruan tersendiri. Terlebih performa tim akan dituntut lebih totalitas dalam menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut event mendatang. But, gue masih anak bawang, jadi tetap santuyyy. Ckckckkk.

Di lain sisi, belakangan gue semakin terpengaruh dengan segala macam sentralisasi Bali terhadap pengaruh lifestyle global. Tato, Alcohol, Drugs, Scene Music atau juga pertanyaan semacam “kenapa Bule bisa ber-libur di Bali, Indonesia?” Sementara gue tidak bisa libur di Negaranya?

Waitt, mungkin gue butuh sebuah passport untuk menjawab pertanyaan ini. Ckckckck.

Maybe bukan standar ganda yang harus gue terapkan, melainkan high standar international yang kudu gue realisasikan. Sederhananya, kalok para bule bisa melakukannya, kenapa kita nggak? Ckckckck.

Semoga ada pacik bule yang baik hati yang ngajakin ke luar Negri. Amiin. Hahahaeey

Wassalam.

Canggu, Badung, Bali 21/09/2019

Sebuah Catatan Permulaan bagian 18

"Semalam baru saja berpesta. Sungguh seru nampaknya cerita di sosialmedia. Namun tidak kenyataannya".