Sebuah Catatan Permulaan bagian 15


                Bagaimana mendeskripsikan keadaan gue saat ini? Padahal di benak ada begitu banyak kata-kata yang melintas. Berharap menjadi sebuah sebuah utas yang bermakna namun malah menjadi paragraph-paragraph yang membingungkan. Apakah ini pantas menjadi draft-draft kebingungan? Lalu jika iya maka untuk apa?

Ohh tidaak. Nampaknya ini adalah waktunya. Waktu yang sudah di tentukan sebelumnya, sudah saatnya catatan ini menyimpang ke sudut dan ruang yang berbeda.

Lalu tentang apa?

Maka pertanyaan ini akan bermuara kepada keberadaan tentang al-kisah si Putri yang datang dari kayangan. Yang lahir dilangit ketujuh diantara bintang-bintang dan benda langit yang bertebaran di ujung semesta nan jauh. Yap Ia adalah si Putri Tanpa Nama.
Siapakah dia?

Dia adalah mentari pagi yang menjadi gemerlap di tengah malam.  Yang selalu hadir dikala mimpi indah dan tidur panjang. Yang selalu muncul dan menebar senyum manisnya.  Dan juga, yang selalu datang dan pergi tanpa ragu ketika gue menginginkannya dalam tidur lelap malam panjang.

Yap Putri itu tidak bersayap meski ia datang dari kayangan. Konon, selama hidupnya ia telah melakukan penghambaan kepada Tuannya sepanjang waktu dan tiada henti. Tapi si Putri itu pernah patah hati. Terbuai oleh cinta semunya di waktu yang lampau. Akibat sakit hatinya, ia kemudian memohon kepada penciptanya agar ia tak ingin lagi ada cinta di dalam hatinya. Lalu dengan segala kepedihan serta kesedihannya, ia kemudian mematahkan kedua sayapnya tanpa sedikitpun takut akan penyesalan yang akan datang dikemudian hari. Sungguh dilematis.

Ia pun kemudian terlempar ke bumi lalu terjebak dalam realitas dan rutinitas yang ada di dunia. Meski kini ia menyerupai kebanyakan manusia fana, namun keistimewaan dirinya sebagai seorang Putri tidak lah hilang begitu saja. Senyumnya yang istimewa dan pandangan matanya yang tajam menjadikan dirinya tetaplah seorang Putri yang berkharismatik. Meski ia tak lagi tinggal di kayangan, ia tetaplah Putri dengan wujud yang rupawan dan mempesona.

SINGKAT CERITA, Suatu ketika ia menghampiri tidur panjang dan mengganggu gugat mimpi indah yang kian menjamur di kepala. Entah apa yang merasukinya. Ia datang begitu saja. Lalu mengeluarkan banyak kata-kata mutiara yang tampak seperti murka seorang Adam kepada anak cucunya.

“Hei kau pria hitam, bangunlah dari tidur panjangmu, apakah kau lupa dengan kewajibanmu ketika hidup di dunia?”
Tanpa bisa menjawab gue terbangun dari tidur panjang itu. Sembari bergumam, “Siapakah sesosok misterius itu? Apakah ia nyata ataukah hanya ilusi semata?”

Lalu keesokan harinya, gue kembali kedalam tidur dan berharap kepada sebuah keajaiban agar ia datang malam ini dan tinggal lebih lama  didalam mimpi panjang yang sedang gue telusuri. Untuk kali ini gue lebih bersiap-siap dengan segala konsekuensinya. Oh tidur aku takut denganmu tapi juga bangga padamu. Terimakasih tidur. Kau menjadi istimewa.
Bagaimana tidak?

Kali ini si Putri tampak lebih nyata dari kedatangannya yang pertama. Alis matanya yang lentik dengan kelopak yang bulat melengkapi senyum manis dari bibirnya yang nampak memerah. Ia begitu nyata di depan mata. Apakah ini keajaiban yang gue harapkan itu? Entahlah hanya Tuan tak bertuan yang tahu.

Tapi kedatangannya kali ini benar-benar berbeda dari sebelumnya. Bahkan tanpa kata-kata ataupun ocehan yang menakutkan seperti kedatangannya di hari kemarin. Ia hanya meninggalkan jejak bahwa ia nyata. Seolah menegaskan bahwa ia mempunyai eksistensi didalam kehidupan fana ini. Tak satupun kata yang keluar dari bibir manisnya. Hanya tatapan tajam dengan senyum yang mencibir yang terlihat jelas dari raut wajahnya. Sementara itu gue bersusah payah mencoba menerjemahkan apakah gerangan dari pesan yang tersirat dari kedatangannya kali ini. Sontak gue terbangun dan si Putri pun hilang begitu saja.

Gue semakin penasaran. Siapakah sesusungguhnya gerangan yang penuh misterius ini? Apakah kedatangannya atas kehendaknya sendiri? Ataukah ia hanyalah utusan dari Tuan yang tak bertuan? Datang sebagai penghibur?

Semakin lama gue bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan, semakin besar pula hasrat agar bisa menyapanya lebih jauh. Sekedar ingin tahu perihal maksud dan tujuannya. Kira-kira begitulah mengartikan hasrat yang sedikit malu-malu ini.

Malam berikutnya ia kembali datang kedalam tidur lelap sesuai keinginan gue sebelumnya. Untuk kesekian kalinya gue selalu menginginkan tidur panjang dengan mimpi yang indah.

Tiba-tiba suara itu memecah keheningan.
“Tahukah kamu, bahwa menyerah dengan keadaan adalah pekerjaan seorang pengecut?”
Perlahan Tanya itu semakin nyaring dan jelas.

Untuk ketiga kalinya ia menghampiri dan kian terasa semakin nyata. Seperti mimpi di dalam mimpi. Tanya itu seolah menyalahkan keputusaasaan yang sedang menimpa tubuh ini.

Gue memilih diam dan hanya terpaku dengan pesona dan aura yang tepancar dari balik tubuh cantiknya. Didalam pikiran gue terbuai khayalan, memadukan halusinasi yang kian memukau. Sekilas pancarona itu terlihat seperti cahaya biru pemberi harapan. Harapan yang ikut sirna bersama gelak tawa semenjak putus asa datang menghampiri beberapa tahun kebelakang.

Demikian dengan ingatan yang menghitam, merah memudar di tengah semangat hidup yang ikut terpuruk. Semua aral yang pernah terucap bahkan tak pernah kembali. Meratapi kegagalan yang ganas menyerang. Sesaat gue memikirkan akankah ia akan tinggal untuk selamanya? Lalu bagaimana caranya menerima dirinya sementara ia adalah Putri yang agung? Ia layak menjadi sempurna untuk dipuja.

Dalam kesunyian dan keragu-raguan lantas si Putri berseru “Bangunlah, tidurmu sudah cukup untuk hari ini” Ia kemudian berlalu pergi diantara peraduan yang belum sempat meredam pedih dan sedih. Apakah gue terselamatkan? Ah entahlah si Putri kembali hilang meninggalkan bisik-bisik bertabur pilu yang belum sempat terjawab.

Makna itu seperti pintu terlarang. Si Putri itu hanya membangkitkan rasa yang pernah hilang, menanyakan asa yang pernah sirna. Bahkan semua yang kelabu dan yang keliru kemudian dijadikan alasan bahwa gue layak untuk hidup seribu tahun lagi. Jangan pulang sebelum Tuanmu memanggil, Setidaknya itu adalah kalimat yang terucap sebelum si Putri benar-benar pergi menghilang.

Semenjak malam itu hidup menjadi ruang hindar yang semestinya gue pijak untuk terus menghias jarak antara ada dan tiada.  Gue menjadi curiga, bahwa curigaku pun selalu di curigai sebagai sebuah kesalahan. Selalu saja ia menghilang di penghujung kata yang penuh makna. Hari itu gue benar-benar kacau di buat olehnya.

Ia menjadi sangat misterius, sulit ditemukan, menjadi jarang terlihat di mimpi-mimpi berikutnya. Sesekali ia datang menghampiri , melintas melalui peristiwa di lini masa. Bukankah ia menjadi istimewa di dalam mimpi-mimpi sebelumnya?

Senang lalu tertawa, sedih lalu termenung. Bahkan terkadang keduanya tercampur menjadi satu adukan yang majemuk. Ah Putri kau benar-benar berada diantara ada dan tiada.  Bagi yang telah lama terluka maka tiada lagi rindu yang akan mendekat. Hanya menjaga lupa kepada mereka yang telah menjauh.

Setidaknya berkat si Putri Tanpa Nama itu, titik balik dari kecewa pada masa lampau terobati secara perlahan. Hati yang pernah patah dan retak kembali merasa pantas untuk menyukai kembali.

Sekedar pengharapanku agar kau tetap tahu. Lukamu, lukaku, adalah luka yang pernah mendatangi kita semua.

Canggu, Bali 14/05/2019

Bagian 14

                Hey boy hey girl. Apalah arti sebuah keberakhiran jika kita masih di berikan sebuah kesempatan untuk tetap hidup? Sama halnya ketika kita terkekang lalu meneriakan kebebasan yang nyatanya teriakan kebebasan kita hanyalah sebuah kesemuan. Seperti berontak didalam semak belukar.

27 tahun sudah gue hidup di atas dunia ini dan acapkali menganggap diri gue seorang freeman. Laki-laki bebas dengan seutas mimpi yang kini nampaknya mulai usang.

“Siapa namanya bolehkah gue menyapanya?” Kembali gue berbicara dengan diri sendiri.

Lalu protes seperti “Apalah arti potensi jika tidak di imbangi dengan usaha yang maksimal?” Pertanyaan seperti ini nampaknya muncul dari dalam diri seolah tak pernah berhenti dan terus berkelanjutan. Entahlah semakin banyak hari yang terlewati, semakin jauh pula catatan ini menyimpang.

Jika semua orang menyadari bahwa “Salah itu biasa, bener juga biasa. MAKA kalau salah gausah drama, entar juga bener. Kalau bener gausah sombong entar juga salah.”

Jika saja semua reorang dan anak muda punya mentalitas ini, sungguh merdeka mereka dalam mencoba hal baru. Dan tanpa ragu mereka akan berkarya meski untuk pertama kalinya. Sebuah utas yang sungguh bermakna, tulis salah satu komika di akun sosial medianya. But tinggalkan dunia maya, di dunia nyata kita bukanlah apa-apa.

"So apakabar pekerjaan?"

Belakangan ini gue bener-bener bergerilya dalam mencari pekerjaan. Dan bahkan hasrat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak menjadi prioritas gue sejauh ini. Mungkin banyak orang pernah melakukan hal yang sama. Menelusuri trotoar jalanan sambil membawa sebuah map yang isinya surat lamaran. Lalu dengan muka tebal menghampiri setiap tempat yang berpotensi membutuhkan karyawan. Di manapun itu, apapun profesinya. Jelasnya sebuah pekerjaan yang menghasilkan Rupiah.

Terus terang, gue hampir ga punya pengalaman untuk melakukan hal yang satu ini. Berani berkeringat di siang bolong sembari berharap mendapat sebuah pekerjaan yang layak. Mengingat dan menimbang map yang gue bawa hanya berlampirkan sebuah kenekatan. Tak lebih dan tak kurang, seutas titel SMA. Miris.

Awalnya hal ini sangat bertolak belakang dengan kepribadian gue. Entahlah, seolah mencari pekerjaan dengan mendatangi setiap café dan restoran adalah adegan pengemis yang sedang meminta-minta di bawah lampu merah.

Seketika itu juga, gue berontak. Ahh ini bukan diri gue. Gue adalah freeman, pria bebas yang gak perlu terikat dengan sebuah pekerjaan. Apalagi dengan cara meminta-minta. Protes demi protes bergejolak di dalam bathin. Tapi lagi-lagi balas dendam yang terbaik adalah sukses. Sementara jalan menuju sukses adalah sebuah prospek. Untuk menuntun prospek maka usaha adalah satu-satunya cara. Kira-kira begitulah rantai yang terikat satu dengan yang lainnya.

Jika emosimu memuncak tinggi maka jangan biarkan ego membunuhmu. Kata Bob Marley dalam sebuah lagunya. The one only ,man!

So hari ini gue punya kabar gembira. Genap sudah dua bulan gue mendiami Bali. Canggu dengan segala kesibukan dan lalu lalang para bule asing setiap harinya, tak pernah berhenti. Dan nampaknya tensi lalu lalang para bule asing belum akan mereda dalam bulan ini.

Yap hari ini gue menyelesaikan wawancara tahap akhir. Artinya dalam waktu dekat gue segera memulai pekerjaan baru. Gue bahkan ragu untuk melakukan selebrasi rasa syukur atas berita bahagia ini, mengingat sebelumnya kontrak gue di cut begitu saja di perusahaan sebelumnya. Sehingga untuk kesempatan kali ini gue sepertinya harus lebih berhati-hati.

Dan lagi. Gelisah menunggu esok hari kembali menghampiri. Menebak kira-kira seperti apa hari esok? Bahkan gelisah itu terus berkecamuk mengingat besok adalah kepastian antara gue bisa memulai kerja ataupun tidak. Yap besok gue di jadwalkan untuk melakukan negosiasi kontrak kerja.

Uhh seperti mendaki sebuah gunung lalu sebentar lagi mencapai puncak, tapi puncak itu tak kunjung sampai sementara kaki-kaki mulai lelah dan dahaga membutuhkan segelas air. Ahh rembulan beri gue sedikit kekuatan untuk malam ini. Please help me.

Bukankah itu kenikmatan ketika mendaki? Rasa lelah juga haus yang tak berujung. Tubuh yang menggigil dengan sisa-sisa tenaga agar bisa sampai ke puncak. Tak bisa di pungkiri, semua pendaki akan melakukan hal yang sama yaitu terus melangkah. Semua di perlukan untuk sampai ke puncak. Huh hah heh hoh.

Butuh sedikit lagi energy untuk menaklukan tahap ini. Just come on.

Tak cukup banyak kata-kata yang menjadi kalimat bermakna untuk hari ini. Hingga seutas paragraph ini di salin maka Kopi di gelas nampaknya telah habis di seruput. Sementara sebentar lagi pagi menjelang di ufuk timur. Sudah saatnya menyenderkan tubuh di atas rebahan penuh kegelisahan ini, sembari berharap besok semua berjalan lancar.

Bismillah. Semoga semesta berbaik hati untuk hari esok, lusa, seterusnya dan seterusnya. Amin.

Bye boy, bye girl.

Canggu, Bali 10-05-2019.

Sebuah Catatan Permulaan bagian 13


                Malam telah larut dan gue baru saja menghadap layar laptop. Di pojok sudut kanan bawah Nampak sederet angka yang menunjukan Pukul 02.15 AM sebagai penanda dini hari segera tiba. Dan angka lainnya mewakili hari dan tanggal yakni 05/05/2019 di tahun masehi musim penghujan. Yap semenjak kedatangan gue di pulau dewata musim penghujan pun belum juga berakhir. Sebaliknya waktu berganti dengan cepat, hari-hari berlalu tak pernah melambat. Ada secerca harapan sekiranya apa yang kita lakukan dalam keseharian setiap harinya tidak meninggalkan kecemburuan di sekitar kita, mengingat sebagai manusia ada naluri iri dan dengki yang tak pernah padam meski secara alamiah kita telah menyadari bahwa susah senang acapkali dirasa sama, dan bahkan susah senang silih berganti adalah  kesementaraan yang mutlak. Life is temporer. Secara manuasiawi kita menyadarinya akan tetapi kita pula mengabaikan keabsah-annya.

Ada beberapa kabar buruk yang sekiranya menjadi bahan dalam lanjutan catatan ini. Tentunya masih perihal yang sama yaitu pekerjaan dan survival. Ya semenjak gue memilih Bali sebagai pelarian, ada harapan besar untuk mengubah kebiasaan lama yang dari dulu selalu melekat dan menjadi dominan dari keseharian gue Yaitu Pemalas dan Penunda. Malam susah tidur, Pagi susah bangun, dan Siang selalu ngantukan. Dan masih banyak lagi penebusan yang harus gue kerjakan jika sang Maha Penguasa menghendaki. Yes i always to hope. Gue sadar, mungkin beberapa dari kawan-kawan mengalami hal yang sama. Dalam istilah kesehatan biasa dikenal dengan sebutan insomnia. Tentunya ada banyak factor dibalik penyebab susah tidur ini. But persetan dengan insomnia. Ada hal lain yang pengen gue tulis hari ini.

Setelah email gue di bales beberapa minggu kemarin maka sesudahnya gue mendapat panggilan perihal wawancara. Awalnya gue cukup pede karena sesi wawancara tidak jauh dari apa yang gue prediksikan sebelumnya. Apalagi beberapa pertanyaan dalam sesi wawancara memang sesuai keprofesian gue dulunya. Yap gue cukup yakin meskipun disatu sisi gue minim ilmu teori perihal kelistrikan. Tapi gue tetep pede, apalah itu gue cukup sigap untuk menjawab beberapa pertanyaan seputar apa itu arus AC DC atau juga  bagaimana caranya membuat partisi dalam installasi listrik rumahan. Ada beberapa tahapan yang harus gue lewati tentunya. Tes tulis dengan essay bahasa inggris. Dan juga wawancara dengan owner atau pemilik usaha itu sendiri.

Meski gue mampu menyelesaikan beberapa hal tersebut, gue gak langsung diterima dan di intruksikan untuk menunggu telephone dari perusahaan. Lagi-lagi fase yang menjanjikan.

Selasa siang handphone gue berdering kencang:

“Selamat siang, apa benar dengan Pak Fajri?” terdengar suara sesosok perempuan di ujung telephone.
“Iya benar sekali. Dengan saya sendiri.” Sahut gue dengan spontan.
“Jam 2 siang pak Fajri bisa menghadap ke kantor?” kami dari LoveAnchorCanggu.
“Oh iya mbak, bisa.”
“Nanti langsung aja datang ke Office. Kalo bapak bersedia kita langsung teken kontrak perihal kontrak kerja” Ujarnya lagi dari ujung telephone.
Dalam hati “Anyingg aing keterima gawe” HA HA HA.
Dengan riang dan berseri-seri telephone pun segera gue matikan dan bergegas bersiap-siap menuju kantor sesuai instruksi yang barusan gue terima. Akhirnya gue keterima gawe sebagai engineering di salah satu pusat perbelanjaan di daerah Canggu kabupaten Badung, Bali. Hell yeah gak!? Wakakaka.

Okeh lanjuuut.
Pukul 01.45 Pm gue meluncur ke tempat yang telah dijanjikan. Adalah Office, sebuah ruangan persegi empat yang belakangan gue kenal sebagai kantor pusat dalam pengoperasian dan pengontrolan adminstrasi dan juga mengawasi kinerja staff-staff yang bekerja di dalamnya. Nampak juga beberapa deretan monitor computer sebagai penunjang dari fasilitas diruangan ini. Ruangan ber-AC dengan dekorasi classic lampu pijar yang melingkar di langit-langit juga interior dinding berbahan dasar kayu jati yang tampak masih baru. Seperti bekas pernis di ujung-ujung dekorasi yang masih menyisakan jejak bahwa ruangan ini sepertinya baru habis di renovasi.

“Selamat siang pak, saya HRD dari office ini. Untuk selanjutnya bapak akan berurusan dengan saya dalam hal koordinasi dan juga konsultasi apabila bapak menyetujui dan berkenan untuk bekerja pada perusahaan kami.”
“Bapak bisa baca dulu perjanjian kontraknya. Jika ada pertanyaan silahkan untuk di tanyakan.” Makasih ucapnya sambil menyodor draft kontrak kerja.”

Untuk beberapa saat gue membaca passal demi passal secara seksama. Meski begitu otak gue udeh dipenuhi dengan semangat kerja sembari berharap ini adalah jawaban dari usaha gue belakangan ini perihal pekerjaan. Dan keyakinan itu semakin menguat bahwa awal baru yang gue impikan belakangan ini terpenuhi. Yaitu bekerja dan bekerja. Make a money for my self. Wanjing! Gue hanya berharap bisa menghasilkan uang dengan cara yang benar dan dengan keringat sendiri tanpa membuat risih orang lain. Hmppp.

Dan DONE. Tanpa sedikit keraguan gue menandatangani surat perjanjian kontrak kerja tersebut. Meski gue dalam posisi formal dan dalam keadaan negoisasi, tapi otak gue udeh berterbangan kemana-mana. Membayangkan menghabiskan gaji pertama dengan Sohib gue. Yoi doi adalah orang pertama yang harus gue cekokin. Barangkali hukumnya menjadi fardu ain untuk yang satu ini. Muehehe.

Byarr!!! Lamunan gue buyar ketika suara yang sama menghampiri tempat duduk gue.

“Jadi ini adalah list kerja bapak. Bapak akan ditugaskan sebagai engineering dan juga sebagai maintainence. Sehingga bapak akan bertanggungjawab secara penuh sesuai SOP dan standar dari porsi kerja bapak.” Ungkapnya panjang lebar sekaligus menjelaskan apa-apa saja yang akan menjadi pokok pekerjaan gue nantinya.
“Oia jangan lupa tugas bapak mengontrol dan mengatur jadwal pemeliharaan terkait alat-alat elektronik di tempat ini.” Jelasnya lagi. Bapak bisa hubungi saya di nomer ini atau juga lewat email kantor. Ungkapnya melanjuti penjelasannya.

Dalam benak gue sih antara faham dan tidak faham ketika di hujani sebegitu banyak penjelasan 
perihal porsi kerja gue nantinya. Meski begitu gue tetap menunjukan gelagat bahwa gue faham sepenuhnya atas penjelasan demi penjelasan yang baru saja ia utarakan.

Sebelum gue melanjutkan pertanyaan lebih jauh. Suara itu kembali berucap, “Oia sebagai penyesuaian jam kerja bapak untuk sementara dimulai dari pukul 12.00 siang sampai pukul 08.00 malam.” Untuk lebih lanjut nanti akan saya informasikan.” Tuturnya mengakhiri pembicaraan.

Tanpa protes dan Tanya yang belum sempat di tanyakan gue akhirnya menyetujui dan menyesuaikan segala sesuatu sesuai penjelasan dan SOP yang diserahkan olehnya.

Semangat itu masih menggebu-gebbu dan mudah saja untuk di prediksi. Malam itu gue gak bisa tidur dengan nyenyak. Semangat yang menderu dan berpacu dengan malam panjang benar-benar membuat tidak nyaman. Huh hah hoohh.

Handphone gue kembali berdering:

“Selamat pagi, Pak fajri jadi kan siang ini mulai masuk kerja?”
“Iya bu, saya akan tiba di sana sesuai jadwal”.
“Baiklah, ada beberapa hal yang mau saya sampaikan”.
“Oke baik bu”. Balas gue.

Dan booomm hari pertama berjalan dengan lancar. Meski rada kaku ketika gue di perkenalkan ke karyawan yang lain perihal gue sebagai karyawan baru, tapi semua tetap berjalan lancar.  Tugas gue pun terbilang sederhana. Hanya melakukan controlling sepanjang hari dan sesekali melakukan koordinasi dengan staff keamanan. Koordinasi harus terus gue lakukan karena menurut mbak HRDnya gue harus melakukan itu secara rutin selama jam kerja.

Okeh kita masuk hari kedua. Hari ini gue harus ke toko elektronik untuk melakukan belanja rutin dari kantor. Ada beberapa alat elektronik yang harus gue beli dan alat-alat tersebut akan dijadikan inventaris penunjang di tempat gue bekerja. Menurut informasi dari satpam, ada banyak alat-alat elektronik yang hilang selama renovasi berlangsung. Sehingga di perlukan untuk melakukan belanja, apalagi ini termasuk belanja rutinan. Lagi-lagi semua berjalan lancar.

Hari ketiga, gue memutuskan untuk datang lebih pagi. Tepatnya pukul 08.00 wita. Adapun yang gue rencanakan adalah jika gue masuk pagi maka kemungkinan besar pukul 16.00 wita gue bisa pulang. Hal ini tentunya sesuai dengan jam kerja dari setiap perusahaan yang ada di Bali.

“Pak fajri dimana? Bisa menghadap kekantor”? tiba-tiba sebuah pesan masuk lewat jejaring sosial wassapp.
“Iya baik bu”. Balas gue sembari bergegas menuju kekantor.

Sesampainya gue di office.

“Pak fajri kenapa masuk pagi tanpa pemberitahuan”? Tanya HRDnya.
“Oh iya bu, saya sengaja datang pagi karena saya harus preparing sebelum memulai kerja”. Jawab gue.
“Iya tapi bapak harus melakukan laporan. Tidak bisa seenaknya mau masuk pagi atau siang”. Perlahan nada si HRD semakin menaik.
“Iya bu maaf sebelumnya jika belum ada pemberitahuan. Saya berniat akan menjelaskan kepada ibu jika ibu sudah tiba dikantor pagi ini.”
“Lah kok kamu nyalahin saya, saya emang datangnya jam segini.” Asal bapak tahu, kontrak bapak bisa gugur kapan aja jika saya memutuskan. Bapak jangan macam-macam dengan saya ya.”
“Iya bu, sekali lagi saya mohon maaf”.
“Gak bisa, saya gak suka jika karyawan saya tidak memenuhi aturan saya”. Sebaiknya sekarang bapak pulang saja dan tunggu panggilan dari saya”.
“Maksud ibu?”
“Kamu gak usah banyak nanya deh, sekali lagi saya beritahu. Kapanpun saya mau Pak fajri bisa saya pecat dari tempat ini.” Ungkapnya ketus.
Dalam hati gue bilang “Si anying bangsat, gue salah apa anying datang pagi malah di omelin?” Bangsat emang!
“Baik bu, saya lebih baik pulang”.
“Iya sana kamu pulang, jika sampai tanggal 2 saya tidak menelpon maka kontrak kamu gugur”.
“Iya bu, ibu bisa berhenti ngebacot gak?” Saya akan dengan senang hati berhenti dari tempat ibu.”
Jeggerr. Reflex gue merusak segalanya.

Belum genap seminggu gue bekerja. Kenyataan pahit harus gue terima. Nampaknya gue belum siap untuk bekerja dalam tekanan. Sampai hari ini panggilan itu tak kunjung datang. Maka mudah saja untuk di tebak. Kontrak gue di cut begitu saja.  Ah si anyingg!

The hate you give. Apa yang lu benci, itu yang akan lu dapatkan. WANJING!

Canggu, Badung, BALI.