Bagian 22


Seringkali kita tak mencatat momen penting dalam hidup ini. Saat itu terjadi, kau malah menganggap penting ketika sudah mengingatnya. Cobalah sesekali!

Gue sempat berpikir bahwa gue telah menjalani hari-hari buruk dalam hidup ini. Tapi ternyata salah, ada hal lain yang lebih buruk. Bak perputaran roda, tiba-tiba kau seolah menjadi selebritas sampah. Kau menjadi orang lain, bahkan pada dirimu sendiri. Kau bahkan tak bisa kembali menjadi dirimu yang sebelumnya. Entahlah, tiba-tiba saja sulit mengatakan bahwa gue baik-baik saja.

Akan tetapi, sebaliknya gue dalam kondisi yang sehat-sehat saja. Bahkan secara fisik berat badan gue bertambah drastis. Kata reorang gue jadi gemuk. Ya gue bersyukur, pelampiasan yang tepat untuk menghabiskan uang untuk jajan yang menyehatkan. Di titik yang lain, gue nyaris tak merasakan apa-apa lagi. Mungkin yang gue maksud ini adalah beban, baguslah jika demikian. Lalu jika iya, apakah ini bisa menjadi kekuatan super? Arrgghh gue butuh beberapa linting untuk mendapatkan kekuatan super power. Hiyya hiyyaa.

So mungkin ini yang disebut ironi, kerja itu sangat membosankan. Di kelilingi lingkaran para penghasut yang berstandar ganda, iya orang-orang ini seperti anjing. Tapi dalam arti yang positif. Muehehe, gak pake guk guukk. Sesungguhnya ini adalah kali pertama dalam hidup ini gue lebih banyak bersyukur, juga sekaligus sering mengeluh. Abstrak bukan? wkwkk

Ehh tapi belakangan gue cenderung menjadi paranoid, ini disebabkan setelah gue terlibat percekcokan di lampu merah beberapa waktu yang lalu. Iya, gue bahkan baku hantam dengan bocah ingusan yang sosoan belaga belagu di depan pacarnya. Kampret emang, dikata gue takut apa. Sini lu ngentot ama tragedy! Fxck! Tapi setelah kejadian itu gue menjadi takut kemana-mana. Lebih banyak waspada, dan lebih berhati-hati tentunya. Tau dah ahh puyeng. ckckckk 

Gue benci kondisi semacam ini. Semakin banyak yang ingin diungkapkan, semakin sukar pula gue untuk menulis? Kenapa? Apakah baik ketika gue nyaman untuk menulis tapi kemudian dipaksakan? Fxck lah ahh!

Terus terang, gue merasa aneh. Sangat aneh. Semoga perasaan ini tidak bertahan lama. Semoga.

Siapa yang pernah merasa menjadi kuda hitam dalam persaingan? Ya gue merasakan itu di lingkungan tempat gue bekerja. Rasanya seperti kuda poni di sebuah pertunjukan. Semua orang seolah meragukan kemampuan yang gue punya, ya gue harus berbesar hati kalo ini wajar. Maklum lah anak bawang. Ckckckk. Ya pada dasarnya gue harus menerima ini agar gue tak serta merta menyalahkan mereka (rekan-rekan kerja). Percayalah gue masih mau berada disini. Hoaamm.

Pada kenyataannya semua nampak suram buat gue, mengingat banyak hal yang telah gue abaikan sebelumnya. Meski begitu ibu gue pernah berucap:; betapa pun buruknya kehidupan, selalu ada hal baik di sekitarnya. Tinggal bagaimana caranya agar tetap fokus pada hal baik itu. Mungkin saja hal baik saat ini adalah Pekerjaan. Hmmp.

Kadang-kadang pula gue sangat benci untuk bangun pagi, harus mandi, berpakaian rapi, lalu berangkat ketempat kerja dengan mata yang perih. Ya gue bisa saja berpura-pura untuk menikmati rutinitas ini. Bahwa gue mempunyai kesempatan untuk membenah diri agar lebih baik. Selayaknya orang kebanyakan misalnya. Ngarep!

Siapa yang sudah mencoba “Hidup” sebagai orang baru dalam hidup ini? GUE!

Ada titik lain dari perjalanan hidup ini ketika gue hidup sebagai orang baru. Dan ternyata ini semua bukan tentang gue semata. Masih banyak melampui diri gue itu sendiri, missal : Ini tentang sahabat, tentang kolega, tentang orang sekitaran gue saat ini. Baik di tempat gue bekerja atau juga di tempat dimana gue tinggal. Ya para tetangga yang murah senyum itu. Terimakasih semesta, untuk bagian ini gue harus berucap Terimakasih dari lubuk hati yang paling dalam. Thx God!

Ya sejujur-jujurnya gue senang menghabiskan waktu di Bali. Momen semacam ini seperti melepas perban, pertanda sembuhnya beberapa luka lama. Ya mungkin, dan tetap saja mungkin. Disini gue merasa lebih tenang, untuk pertama kalinya sejak lama. Sedih dengan yang pernah berlalu, tapi tenang dengan keadaan yang sekarang. Ya gue selalu meyakinkan diri untuk bertahan dengan rencana ini, seolah ini merupakan tujuan baru. Intinya gue harus melanjutkan hidup. Itu saja.

Tapi kenapa selalu saja ada yang tak beres? Misalnya melakukan hal yang benar tapi terasa seperti melakukan kejahatan. Apakah seseorang bisa sangat lelah hingga dia tak lagi merasakan batasnya? Gue seperti meleleh tapi bukan dalam arti positif. Lagi-lagi hmppp.

Hidup ini cukup canggung, mungkin sebaiknya gue harus bersikap baik kepada semua orang. Ada orang yang berbahaya ada pula orang yang aneh. Mungkin saja ini adalah keseimbangan yang setara. Tapi kenapa lebih banyak orang yang tidak waras ketimbang mereka yang waras? Ckckckk kocak!

Apakah ini bisa menjadi kejahatan besar? Ketika gue dengan egois menghakimi kebanyakan orang bahwa mereka sudah gila! Sepertinya tidak, mereka pantas mendapatkan itu.

Sampai dimana kita?.....

Ahh tidak rupanya kita sudah di penghujung tahun. Sebentar lagi tahun baru. Mari berharap pada keajaiban agar batu loncatan di penghujung tahun ini bisa merubah diri yang leha-leha ini menjadi pribadi yang lebih produktif. Cheerrrss.

Canggu 16 Desember 2019

Bagian 21


               “Tidak peduli bagaimana pun kau yang berusaha keras melupakan, semakin keras kau membenci semakin nyata pula ia hadir di nadirmu”.

Yap beberapa bulan ini roda keseharian gue seolah berhenti. Stagnan, lalu perlahan menjadi pasti bahwa apa yang gue lakukan atas tindak laku ini adalah sebuah kepastian untuk kembali pada kata semu. Ya sebuah kesemuan seperti sediakala. Hambar dan tiada berarti.

Tepat satu bulan kemarin, telephone genggam gue berdering nyaring. Seketika terpampang sebuah nama yang tidak asing. Bagaimana bisa gue membahagiakan orang lain? Sementara gue bahkan tidak sanggup membahagiakan diri sendiri? Pertanyaan lama muncul di titik nadir setelah untuk beberapa saat gue merasa berhasil untuk mencintai diri gue sendiri.

Hallo apakabar?
Tanya suara di ujung telephone.
Ya gue baik-baik saja. Dan sepertinya gue sangat baik-baik saja belakangan ini.
Sahut gue.
Ada sesuatu yang harus gue sampaikan, tapi gue butuh waktu yang lebih Panjang untuk menyampaikan ini.
Ucapnya lagi.
Tanpa keberatan, gue pun menyanggupi permintaannya dan bersedia mendengar ceritanya dari ujung telephone.

                Ya untuk kesekian kalinya dia mucul dan menyampaikan keluh kesahnya. Tidak ada sedikit keraguan pun ketika gue mulai membuka diri untuk merespon segala gelisahnya. Tentang kuliahnya, tentang keluarganya, bahkan tentang kekasihnya yang konon katanya belakangan mereka lebih sering cekcok dan adu pendapat. Untuk sesaat gue menikmati itu.

Akan tetapi dalam lubuk hati yang paling dalam, perasaan gue berkecamuk. Batin gue bergemuruh. Apakah ini kesempatan kedua buat gue untuk memulai kisah lama ini? setidaknya berusaha memperbaiki apa yang dulunya sempat kandas. Gue ragu, tapi gue menepis keraguan itu.
Alhasil, sampai catatan ini dibuat. Gue benar-benar jatuh dalam lubang yang sama. Sakit dan teramat menyakitkan.

Rupanya, telephone itu menjadi berlanjut. Malah menjadi sebuah rutinitas. Bahkan tak sehari pun yang terlewati tanpa bercengkrama satu dengan yang lainnya, tenggelam dalam tawa riang di sela cerita yang gue berdua bangun dalam kurun waktu hampir sebulan. Ya disatu sisi gue mengabaikan jarak dimana gue dan ia berdiri.

Tak ada sedikitpun rasa canggung, gue menikmati momen ini dan ia pun sebaliknya.

Di suatu kesempatan ia berucap
Gimana kalo setelah wisuda gue berangkat ke Bali? Mungkin gue bisa memulai rasanya sensasi dunia kerja untuk pertama kali di kota Bali. Ucapnya lagi.
Ya lu mesti kesini, gue punya banyak tempat yang harus kita singgahi Bersama.
Balas gue dengan penuh yakin.
Sambil tersenyum ia mengangguk setuju dengan matanya yang berbinar.
Mungkin dengan kesempatan ini pula, kita bisa memperbaiki segala sesuatu yang dulu benar-benar kacau dengan hubungan asmara kita.
Gue kembali berujar namun ia hanya diam.

Tahukah kalian, siapa dia? Ya ia adalah alasan paling kuat ketika gue memulai Salinan ini. Ia adalah wanita yang pernah membuat gue jatuh cinta pada masa lampau. Dan ia adalah wanita yang melahirkan kedua putri kembar gue ke atas dunia ini. Ya gue ga perlu segan untuk menyatakan bahwa dia adalah mantan istri yang teramat sangat gue kasihi. Gue rela berbuat apa saja demi dirinya, itu adalah sumpah. Tapi itu semua terjadi pada masa lampau.

Gue bahkan mengingat dengan baik, dimana ia begitu senang dan girang ketika di berikan sebuah bunga. Katanya itu romantis.

Bahkan tidak jarang gue dengan sukarela memberikan bunga secara berkala. Ya meski keperawakannya jauh dari kata feminis, tapi ia selalu suka di perlakukan selayaknya perempuan. Bunga dan coklat, ia membencinya tapi tak juga menolak jika itu adalah hadiah.

Bahwa, mungkin sampai sekarang ia masih menjadi perokok aktif, dari suaranya yang kian serak gue bisa memastikan itu. Akan tetapi dari pengakuannya ia telah lama meninggalkan alcohol atau semua yang hal yang cenderung memabukan. Ya gue sangat percaya diri untuk menghafal betul segala sesuatu tentang dirinya. Apalagi sifat keras kepalanya yang sangat identik dengan peringainya.

Entahlah dua sampai tiga tahun gue berusaha melupakannya, dan dalam waktu itu pula gue berada pada titik kenihilan. Lagi-lagi sebuah nilai semu tanpa ada artian yang berarti.

Dia datang lagi, dan gue membuka lebar-lebar hati gue untuknya.

Tapi tahukah kalian bahwa perpisahan gue dengannya benar-benar menyakitkan pada masa lampau? Ahh gue bahkan tidak punya penggambaran yang tepat untuk menceritakan bagian ini. Hati gue telah hancur, bukan hanya satu kali, bahkan berulang kali. Lagi, lagi dan lagi.

Dan hari ini, gue mendapati itu lagi.

Suatu saat kau pasti menikah lagi,
dan kemungkinan besar bukan denganku.
Suatu saat, mau tidak mau
Aku juga harus merelakanmu.
Aku harap, kau benar-benar mencintainya.
Sebab, jika tidak
Aku takut masih tetap diam-diam berdoa, Untuk bisa berdiri di tempatnya
Mungkin, dalam sisa umur hidupmu.

Tolong beritahu aku bahwa ini adalah KESALAHAN!!!