Bagian 20


           
          Mungkin tidak ada sebuah pelajaran penting yang bisa diambil dari catatan ini. Bahwa hidup yang baik-baik saja tidak mencerminkan kebahagiaan yang absolute. Bahwa hidup yang berantakan mungkin terasa lebih menyenangkan. Bahwa mungkin, dan tetap mungkin. Gue lebih suka jika catatan ini cenderung mundur kebelakang lalu maju kedepan. Misalnya ternyata gue tidak berasal dari keluarga yang berantakan, atau juga relasi pertemanan gue yang menyebar luas dan dipenuhi aura positive adalah bentuk sinergi sefrekuensi yang perlu dijaga. Ingat, Energi negatif terbesar diperoleh dari banyaknya berinteraksi dengan orang-orang yang tak sefrekuensi. Lalu sampailah kepada hubungan asmara gue yang berhenti di istilah “kebebasan kebablasan”. Yap, pada akhirnya gue mendapatkan amanat yang berat yakni dikaruniai dua orang putri kembar dari hasil hubungan gue dengan salah seorang perempuan yang pernah menjadi idaman dan tambatan hati di waktu lampau. Bahkan sampai sekarang gue masih bingung diantara gelisah atau bersyukur. Please forgive me. 

Tetapi masalahnya, gue selalu menginginkan lebih dari apa yang ditawarkan oleh kehidupan modern. Gue ingin melihat semuanya dan mencoba segalanya. Bercinta dengan siapapun yang gue mau, merasakan lelahnya menuju puncak gunung, atau juga merasakan indahnya pagi hari di pantai sambil menanti mentari, lalu menghindari sesaknya kota-kota besar, dan melewati batas misalnya; mencuri apapun dari mereka yang layak dicuri. Makan gratis, minum gratis, baca buku gratis. Dan lain sebagainya.

Kembali ke kata MUNGKIN, Iya dulu mungkin gue terlihat buruk, dan memang buruk. Tetapi setidaknya gue melakukan keburukan-keburukan dengan kesadaran penuh. Lalu ketika menatap kembali di saat hidup gue bermula, sesaat sebelum gue benar-benar memantapkan jalan menuju hidup yang lebih layak untuk dihidupi, sebelum menjelajahi perjalanan hidup gue di Bali tentunya. 

Sebagaimana espektasi yang memendam saat ini. kala itu, gue masih terlalu takut untuk kehilangan. Gue cemas akan kehilangan barang-barang, kehilangan uang, kawan-kawan, keluarga, kekasih, bahkan juga pada akhirnya gue terlalu takut akan kehilangan nyawa disaat gue merasa belum siap untuk mati.

Toh pada kenyataannya kita semua akan mati, tapi tidak seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti kapan kita akan mati. Dengan demikian , selamanya kita tak akan pernah siap untuk benar-benar mati. Karena selama waktu hidup, kita tidak pernah benar-benar hidup. Tetapi melihat kembali hidup yang dulu, yang penuh dirundung kecemasan dan ketakutan, tetaplah menyenangkan sekaligus pantas untuk ditertawakan. Maybe yes maybe no.

Sebuah utas pernah menyebutkan “ Dengan melepaskan keterikatanku pada benda, segalanya menjadi mudah. Aku tak lagi mudah dibebani perasaan bersalah dan moralitas. Aku menjadi bebas. Terdapat sebuah korelasi antara Ketidakmelekatan pada benda dan kepuasan: semakin kita tak melekat pada benda semakin menyenangkan hidup kita. Hidup semakin ringan”. Kira-kira demikian.

Atas dasar ini, gue seolah-olah mendapat dan atau menjadi orang yang tercerahkan. Seakan-akan sadar “bahwa” gue harus berterimakasih pada kekasih yang pernah meninggalkan gue. Pada dia yang pernah merebut hati gue, sehingga  ia tak pernah lagi bersedia meluangkan waktu, keintiman dan keberadaan atas protes terhadap maruknya keegoisan dalam diri gue .

                Dan bahkan beberapa waktu lalu gue begitu hancur dan marah dengan kalian semua. Tetapi ketahuilah kini semua perlahan mulai berbeda dan berubah, kalianlah justru menjadi guru-guru yang mengajarkan tentang kesadaran bahwa “tak seorangpun seharusnya memiliki apapun agar tak terikat pada apapun dan dengannya manusia akan menjadi bebas”, walau dengan cara yang menyakitkan. Ingatlah, bukankah seringkali hanya dengan cara itulah manusia mampu belajar? Lantas, apakah kita pantas untuk menolak memiliki benda seperti bayangan kebanyakan orang-orang? tidak, kita harus menolak melekatkan hidup pada benda.

Perlu ditambahkan juga bahwa gue pernah merasakan benar-benar hidup ketika mengerjakan project acak membuat zine. Setidaknya didalam zine gue menemukan cara hidup yang lebih menarik. Hidup brassa lebih hidup. Bebas dengan kata-kata yang absurd, atau juga bebas menulis kalimat-kalimat hardikan. Tanpa khawatir atas ketersinggungan oleh batas-batas norma yang belakangan menjadi acuan dan aturan dalam passal yang kontroversial. Pemerintah benar-benar sakit, f*ck lah persetan dengan mereka.

Tapi lagi-lagi mungkin, bagi seorang manager kantoran di sebuah tim kreatif tempat hiburan di Bali akan bertanya-bertanya mengapa gue lebih memilih memainkan blog di tengah momentum dimana gue dirundung tuntutan performa beban kerja temporer sebagai Audio Visual di tempat gue bekerja sebagai karyawan tetap.

Oleh karenanya, semakin kesini semakin terngiang di kepala bahwa satunya-satunya jaminan dalam hidup yang benar-benar hidup adalah membiarkan semuanya mengalir seperti air, hulu-hilir.

Apakah menjadi buruk? Ketika upah bulanan tidak lagi menjadi jaminan?

Tidakkah engkau pernah mendengar seseorang pernah mengatakan bahwa satu hari dari hidup seorang penjelajah seringkali lebih terisi dengan kenangan dan kejutan dibandingkan hidup sebulan atau setahun dari seseorang yang mengabadikan seluruh waktu hidupnya untuk bekerja dan hidup sesuai aturan? Mungkin memang lebih banyak kesalahan dan kekacauan yang dibuatnya dibandingkan dengan apa yang dihidupi oleh seorang pekerja yang hidupnya seperti mesin.

Lalu apa alasan yang paling mendasar sehingga catatan ini menjadi Salinan dalam blog ini? ahh entahlah. Yang jelas gue masih baik-baik saja hingga salinan ini dimuat. Anggaplah ini adalah perlengkapan tempur bagi seorang pria hitam daki yang kurus ini.

So gutnite girl gutnite boy, sampai jumpa di lain waktu. Cheersss!!

Canggu, badung, Bali 06/10/19