HADIAH DARI INDONESIA TIMUR


Ihwal Acara Waktu Indonesia Timur NET TV

Bisa jadi, sebagian pembaca sudah sekali dua menonton acara Waktu Indonesia Timur di Net TV ini. Atau mungkin, sudah tergolong dalam jamaah penonton garis keras acara talkshow berpadu games tersebut.

Akan tetapi, ijinkan penulis mengupas sekulit ari saja acara yang tayang perdana pada 7 April 2018 dimaksud. Kendatipun, selama ini penulis hanya sanggup mengikuti tayangan ulangnya via YouTube alias tidak langsung di layar televisi. Karenanya, penulis layak memohon maaf terlebih dahulu sebelum melanjutkan kupasan yang tak dalam ini. Baiklah.


Ya, nama acaranya Waktu Indonesia Timur. Penulis curiga, penamaan acara ini lantaran sebagian besar pengisi acara ini adalah orang-orang yang berasal dari Indonesia Timur, meliputi Papua, Maluku, NTT, dan Sulawesi. Sebab, selain Arie Keriting asal Wakatobi dan Abdur Arsyad asal Larantuka, Flores Timur sebagai pemandu acara bergenre lawakan massal ini, masih ada pengisi acara lainnya yakni Reinold asal Maluku, Yewen asal Papua, Epy Alor, dan Mamat Alkatiri asal Papua.

Selain itu, penamaan acara Waktu Indonesia Timur ini bisa jadi lantaran ada saja hal-hal bersifat ketimuran yang sengaja dimasukkan para pengisi acara ke dalam acara tersebut. Misalnya adanya lagu Rasa Sayang ee, sebagai nyanyian penjemputan para bintang tamu. Juga, materi pembicaraan para pengisi acara yang selalu bersinggungan dengan unsur Indonesia Timur.

Bahkan, ada pantun bernuansa Timur yang dijadikan oleh Arie dan Abdur sebagai pembuka acara ini.
Mari kita amati cuplikannya,


Dari Sabang sampai Merauke
Dari Miangas sampai Pulau Rote
Kami hadir untuk menghibur
Karena kami Waktu Indonesia Timur



Atau, pada beberapa episode selalu dimulai dengan dengan tampilan beberapa video viral yang pemerannya orang-orang dari Indonesia Timur. Pembaca mungkin masih ingat video seorang bocah dari Amarasi, NTT yang menirukan suara seorang reporter Moto GP sembari duduk di atas sebuah sepeda motor dengan gerakan tubuh seperti orang sedang balapan.

Atau, video seorang anak muda Papua yang duduk di atas baling-baling helikopter seolah sedang bermain ayunan. Atau juga, lagu Gemu Famire dan tariannya yang sudah memasyarakat di Afrika serta lagu Yamko Yambe Yamko yang dinyanyikan oleh paduan suara di Amerika sana.

Nah, rangkaian demi rangkaian acara serta persona-persona ketimuran inilah yang menurut hemat penulis, menjadikan acara ini diberi titel, "Waktu Indonesia Timur", sebuah penamaan yang cukup nekat -satu tingkat di atas berani- di atas hegemoni acara dari luar entitas itu. Lantas, apa pandangan subjektif penulis terhadap acara ini?

Sebagai sesama orang Indonesia Timur, penulis melihat hal ini adalah sebuah kegembiraan sekaligus kemajuan yang amat luar biasa. Betapa tidak, sejak pertama kali penulis menjadi barisan jamaah penonton televisi yang sah, baik secara undang-undang maupun konvensi, baru kali ini penulis menyaksikan acara yang hampir delapan puluh persen diisi oleh orang Indonesia Timur sekaligus membahas masalah Indonesia Timur.

Dari jaman Srimulat, Ateng, Wiro Sableng, Album Minggu, sampai Opera Van Java, tidak satu pun dominasi pemerannya berasal dari Timur, apalagi membahas masalah Indonesia Timur. Ruang untuk berekspresi dan berkreasi bagi Orang Timur hampir tak ada sama sekali. Isu-isu Indonesia Timur pun tak ada yang menarik diangkat dalam acara-acara selafaz itu.

Nah, kini di zaman now, ketika dunia sudah semakin sepuh lantaran sudah berumur 2018 tahun, baru kali ini Indonesia Timur bisa mendapatkan ruang yang cukup maksimal di layar kaca. Indonesia Timur sudah mulai dilirik dan dibicarakan secara serius di tengah gempuran produk hiburan dari Indonesia Barat dan Indonesia Tengah. Orang-orang dari Indonesia Timur pun sudah mulai diberi ruang untuk "pee gigi" (unjuk gigi, bahasa Kupang) di depan kamera.

Bila ditelisik lebih jauh, salah satu alasan terbesar mengapa Indonesia Timur selama ini kurang mendapatkan ruang di depan kamera, semua itu lantaran Indonesia Timur kekurangan SDM. Indonesia Timur hanya punya SDM secara kuantitas, tetapi kurang berkualitas di depan kamera untuk memandu dan mengisi acara agar lebih entertain alias menghibur.

Pun, orang-orang Indonesia Timur masih berkarir secara solo, swadaya, bahkan tampak sampai tak lagi berdaya. Lihat Edo Kondologit, Dorce Gamalama, Yopi Larut, Glenn Fredly, Jeremy Teti, Andre Hehanusa, Melly Goeslaw, Yaser Nene Ama, serta beberapa deret pesohor papan atas Indonesia asal Indonesia Timur. Mereka hanya sanggup berkarir secara sendiri dan bergerak dari bawah untuk merangkak naik ke atas papan. Bahkan, jarang sekali terdengar mereka bicara hal-hal yang berkaitan dengan Indonesia Timur, apalagi berdialek Timur. Itu sama seperti pocong yang tidak sudi memakai kain kafan.

Kemunculan Arie Kriting dan Abdur Arsyad di belantika hiburan tanah air melalui panggung stand up comedy memberikan angin segar akan keberpihakan Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Indonesia Timur. Melalui gerbong yang dibangun oleh dua mahasiswa yang menuntut ilmu di Kota Malang ini, marwah Indonesia Timur secara perlahan mulai mendapatkan ruang apresiasi dan kreasi.

Waktu Indonesia Timur pun menjadi pembuktian atas keberhasilan dua orang anak kos yang dahulunya di kampung tukang tekling kasuari dan suka main bola di atas batu karang ini. Waktu Indonesia Timur tidak sekadar lapak untuk jualan produk Timur, tetapi lebih kepada jagat untuk menegakkan eksistensi sekaligus memurnikan identitas.

Walau demikian, perlu digarisbawahi bahwa Waktu Indonesia Timur bukan untuk menjadi pembatas dan pemilahpisahan diri dari kesatuan dan persatuan Indonesia. Bukan sebagai usaha primordial untuk mau menumbuhkan sikap egois dalam diri Indonesia Timur lalu meretakkan bangunan kesatuan Republik Indonesia. Tidak sekali-kali demikian. Tidak sama sekali demikian.

Waktu Indonesia Timur sekadar menjadi penyeimbang ruang hiburan yang selama ini dihegemoni oleh Indonesia Barat dan Indonesia Tengah. Ia semacam pemberi harapan baru bagi wajah pertelevisian yang sudah mulai bopeng dengan hal-hal klasik negeri ini. Ia semacam peremajaan bagi usai tumbuhan yang semakin lapuk dilalap usia.

Apatahlagi, Waktu Indonesia Timur hadir dengan nuansa lelucon yang bikin penonton Indonesia Raya ikhlas untuk melepaskan tawa. Ia hadir untuk mendengarkan kepolosan-kepolosan cara pikir, cara sikap, dan cara tutur orang Timur. Ia hadir untuk mengajak seluruh warga Indonesia Raya agar menyisihkan sedikit waktu untuk olahraga bibir dan isi kepala. Ia menjadi pelepas dahaga dari hiburan yang mungkin terlalu monoton dan dibuat-buat selama ini. Ia hadir untuk mempertegas jati diri manusia bahwa salah satu ciri manusia adalah tertawa di saat mengalami atau menikmati hal lucu.

Oleh karena itu, terimalah Waktu Indonesia Timur ini sebagai hadiah dari Indonesia Timur buat Indonesia Raya. Terimalah Arie, Abdur, Reinold, Yewen, Epy, dan Mamet sebagai perwajahan Indonesia Timur yang jujur dan polos.

Oleh : Pion Ratulolly

Tidak ada komentar:

Posting Komentar