Bagian 21


               “Tidak peduli bagaimana pun kau yang berusaha keras melupakan, semakin keras kau membenci semakin nyata pula ia hadir di nadirmu”.

Yap beberapa bulan ini roda keseharian gue seolah berhenti. Stagnan, lalu perlahan menjadi pasti bahwa apa yang gue lakukan atas tindak laku ini adalah sebuah kepastian untuk kembali pada kata semu. Ya sebuah kesemuan seperti sediakala. Hambar dan tiada berarti.

Tepat satu bulan kemarin, telephone genggam gue berdering nyaring. Seketika terpampang sebuah nama yang tidak asing. Bagaimana bisa gue membahagiakan orang lain? Sementara gue bahkan tidak sanggup membahagiakan diri sendiri? Pertanyaan lama muncul di titik nadir setelah untuk beberapa saat gue merasa berhasil untuk mencintai diri gue sendiri.

Hallo apakabar?
Tanya suara di ujung telephone.
Ya gue baik-baik saja. Dan sepertinya gue sangat baik-baik saja belakangan ini.
Sahut gue.
Ada sesuatu yang harus gue sampaikan, tapi gue butuh waktu yang lebih Panjang untuk menyampaikan ini.
Ucapnya lagi.
Tanpa keberatan, gue pun menyanggupi permintaannya dan bersedia mendengar ceritanya dari ujung telephone.

                Ya untuk kesekian kalinya dia mucul dan menyampaikan keluh kesahnya. Tidak ada sedikit keraguan pun ketika gue mulai membuka diri untuk merespon segala gelisahnya. Tentang kuliahnya, tentang keluarganya, bahkan tentang kekasihnya yang konon katanya belakangan mereka lebih sering cekcok dan adu pendapat. Untuk sesaat gue menikmati itu.

Akan tetapi dalam lubuk hati yang paling dalam, perasaan gue berkecamuk. Batin gue bergemuruh. Apakah ini kesempatan kedua buat gue untuk memulai kisah lama ini? setidaknya berusaha memperbaiki apa yang dulunya sempat kandas. Gue ragu, tapi gue menepis keraguan itu.
Alhasil, sampai catatan ini dibuat. Gue benar-benar jatuh dalam lubang yang sama. Sakit dan teramat menyakitkan.

Rupanya, telephone itu menjadi berlanjut. Malah menjadi sebuah rutinitas. Bahkan tak sehari pun yang terlewati tanpa bercengkrama satu dengan yang lainnya, tenggelam dalam tawa riang di sela cerita yang gue berdua bangun dalam kurun waktu hampir sebulan. Ya disatu sisi gue mengabaikan jarak dimana gue dan ia berdiri.

Tak ada sedikitpun rasa canggung, gue menikmati momen ini dan ia pun sebaliknya.

Di suatu kesempatan ia berucap
Gimana kalo setelah wisuda gue berangkat ke Bali? Mungkin gue bisa memulai rasanya sensasi dunia kerja untuk pertama kali di kota Bali. Ucapnya lagi.
Ya lu mesti kesini, gue punya banyak tempat yang harus kita singgahi Bersama.
Balas gue dengan penuh yakin.
Sambil tersenyum ia mengangguk setuju dengan matanya yang berbinar.
Mungkin dengan kesempatan ini pula, kita bisa memperbaiki segala sesuatu yang dulu benar-benar kacau dengan hubungan asmara kita.
Gue kembali berujar namun ia hanya diam.

Tahukah kalian, siapa dia? Ya ia adalah alasan paling kuat ketika gue memulai Salinan ini. Ia adalah wanita yang pernah membuat gue jatuh cinta pada masa lampau. Dan ia adalah wanita yang melahirkan kedua putri kembar gue ke atas dunia ini. Ya gue ga perlu segan untuk menyatakan bahwa dia adalah mantan istri yang teramat sangat gue kasihi. Gue rela berbuat apa saja demi dirinya, itu adalah sumpah. Tapi itu semua terjadi pada masa lampau.

Gue bahkan mengingat dengan baik, dimana ia begitu senang dan girang ketika di berikan sebuah bunga. Katanya itu romantis.

Bahkan tidak jarang gue dengan sukarela memberikan bunga secara berkala. Ya meski keperawakannya jauh dari kata feminis, tapi ia selalu suka di perlakukan selayaknya perempuan. Bunga dan coklat, ia membencinya tapi tak juga menolak jika itu adalah hadiah.

Bahwa, mungkin sampai sekarang ia masih menjadi perokok aktif, dari suaranya yang kian serak gue bisa memastikan itu. Akan tetapi dari pengakuannya ia telah lama meninggalkan alcohol atau semua yang hal yang cenderung memabukan. Ya gue sangat percaya diri untuk menghafal betul segala sesuatu tentang dirinya. Apalagi sifat keras kepalanya yang sangat identik dengan peringainya.

Entahlah dua sampai tiga tahun gue berusaha melupakannya, dan dalam waktu itu pula gue berada pada titik kenihilan. Lagi-lagi sebuah nilai semu tanpa ada artian yang berarti.

Dia datang lagi, dan gue membuka lebar-lebar hati gue untuknya.

Tapi tahukah kalian bahwa perpisahan gue dengannya benar-benar menyakitkan pada masa lampau? Ahh gue bahkan tidak punya penggambaran yang tepat untuk menceritakan bagian ini. Hati gue telah hancur, bukan hanya satu kali, bahkan berulang kali. Lagi, lagi dan lagi.

Dan hari ini, gue mendapati itu lagi.

Suatu saat kau pasti menikah lagi,
dan kemungkinan besar bukan denganku.
Suatu saat, mau tidak mau
Aku juga harus merelakanmu.
Aku harap, kau benar-benar mencintainya.
Sebab, jika tidak
Aku takut masih tetap diam-diam berdoa, Untuk bisa berdiri di tempatnya
Mungkin, dalam sisa umur hidupmu.

Tolong beritahu aku bahwa ini adalah KESALAHAN!!!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar