Bagian 23


The hate you give 2PAC

                THUG : Apa yang kau benci itu yang kau dapatakan.

Apakah ini menjadi pertanda bahwa kebanyakan orang membenci hal-hal yang ia tak pahami adalah sebuah kebenaran mutlak, lalu gue adalah salah satu dari kebanyakan orang itu!? Wwkwk bangsat, jika iya. Ini jelek banget! hahaaha

Pertama, bersyukur itu butuh hal untuk disyukuri.

Kedua, tidak semua masalah bisa selesai dengan “sudut pandang”.

Ketiga, Tuhan memang adil. Tetapi mekanisme kerja dalam bekerja belum tentu adil.

Lalu bagaimana jika ternyata “Diri sendiri adalah hal yang paling sulit dimengerti?”

Bah, begitu banyak pertanyaan tapi terlalu sedikit memberi jawaban.

Gundah gulana macam apa ini?

                Pada akhirnya sikap gue adalah boomerang atas diri sendiri. Misalnya, ternyata semua keributan itu adalah perkara yang telah gue perbuat. Atau, ternyata gue hanya sosok yang malah menimbulkan beda pendapat dan percekcokan antara satu bahkan lebih dari dua orang. Atau juga, ternyata gesekan yang gue timbulkan rupanya menjadi percikan api yang kemudian membesar dan membakar orang disekitarnya. Hanjing gue ga terima jika sebodoh itu.

Ya pekerjaan membuat gue benar-benar frustasi! Stress out

Padahal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang menjadi visi misi selama gue menginjakan kaki di pulau dewata tanah Bali. Tapi mungkin juga ini menjadi pembenaran bahwa kemarin gue adalah orang yang hampir gila ketika bersusah payah mencari pekerjaan, maka hari ini kegilaan gue menjadi sempurna ketika sudah mendapatkan pekerjaan. Kegilaan yang benar-benar menjadi sempurna!

Ya waktu memang berlalu sangat cepat.

Bulan depan adalah bulan penanda bahwa gue sudah satu tahun bergerilya di Bali. Gue sering mengatakan gue suka bulan maret. Sebab bulan maret juga menjadi penanda hari kelahiran gue, sebuah ritual perayaan ulang tahun yang bahkan baru “sekali” gue rayakan selama perjalanan Panjang ini. cckkck millennial yang menyedihkan.

Oya, sohib gue telah memutuskan untuk berhenti dari tempat kerjanya dan memutuskan untuk memulai karir sendiri. Nampaknya doi mencoba untuk menerapkan praktek independent ketimbang mengharapkan upah bulanan dari perusahaan. Yess gue support keputusan ini. I proud for u brada…

Awalnya gue sempat khawatir. Karena selama ini gue berdua berada dalam profesi yang sama, satu departemen dengan poksi yang berbeda. Hal ini PULA menjadi alasan gue nyaman dan enjoy selama bekerja disana. Setidaknya itulah yang dulu gue pikirkan. Mungkin lebih tepat ini penyebab “gue keenakan”.

Terlepas dari keputusannya untuk re-sign, gue sedih karena ditinggalnya. Tentunya gue akan melanjutkan gerilya ini seorang diri. Bukan semata urusan pekerjaan, hanya saja kesenangan-kesenangan yang sudah terencanakan akan menjadi wacana semata tanpa ada realisasi berarti.

Ya mungkin di kepala gue hanya ada pikiran untuk bersenang-senang, ke pantai atau ke gunung. Atau sekedar mabok-mabokan di malam minggu. Sementara disisi lain, doi sudah bosan terus berada difase stagnan disposisi non produktif, berjalan di tempat. Ya sekali lagi gue bisa terima jika alasannya demikian. Maka dengan ini pula gue bisa leluasa untuk mengungkapkan bahwa yang mahal itu kepercayaan, yang tak dijual itu kesetiaan “kawan sejati susah dicari, kawan sejati tak bisa dibeli”.

Ya mungkin ini pula menjadi jawaban bahwa belakangan gue sangat sensitive dan meledak-ledak jika ada perbedaan pendapat. Terlebih selama jam kerja berlangsung. Ya gua “anti” terhadap orang-orang dengan pola urusan pekerjaan yang dibawa pulang sampai kerumah. Menurut gue pola semacam ini tidak menunjukan ke-profesional-an sebagai seroang karyawan. Kerja ya kerja, abis di tempat kerja. Bukan sebaliknya dituntun sampai kerumah. Notife handphone yang terus berdering, dengan sejuta tanda tanya dari rekan-rekan yang sama bahlulnya. Goblok emang.

Ya meski riskan, gue harus berterus terang bahwa gue mulai suntuk dengan dialetika dramatoris ini. drama-drama di tempat kerja sangat mempengaruhi kinerja. Terutama memancing cekcok dan menyulut emosi. Benar itu biasa, sementara salah itu luar biasa. Menyedihkan bukan?

Gue bertanya-tanya, apakah yang menjadi berarti dari bagian ini?

Maka untuk sesaat gue mendapat jawaban bahwa semua masalah yang timbul sudah jelas muncul dari diri gue sendiri. Semoga memang benar bahwa evaluasi terhadap diri sendiri adalah sebuah refleksi terhadap pendewasaan dalam bersikap dan menyikapi segala sesuatu terkait pekerjaan. Berhati-hatilah dewasa itu jebakan!

Akan menjadi relevan dan tetap menjadi relevan : Apa yang kita rasa, apa yang kita lihat, dan apa kita terima, semua karena kita sendiri. Sekian.

10 februari 2020 Canggu, Badung, Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar