Sebuah Catatan Permulaan bagian 1


Assalamualaikum wr wb.
Senang rasanya menulis lagi untuk untuk postingan di blogg ini. Hehe. Yap rasanya terlalu formal tiap kali opini yang gue bangun dalam setiap zine yang gue kerjakan karena cenderung di dominasi oleh pemikiran golongan kelompok kiri dan muatannya selalu proaktif dan informative. Belum lagi ujaran propaganda dalam zine yang gue kerjain selalu mewakili diri gue yang rebell and struggle dan cenderung anti kepada system kepemerintahan. Yap pada akhirnya gue memilih golput ketimbang harus terjebak dalam dinamika dan realitas politik yang telah berhasil menciptakan kotak-kotak dalam masyarakat pada umumnya, dan lebih khususnya miris terhadap percekcokan oleh sekelompok elit politik. Entah disadari atau tidak, musim Pilpres akhirnya melahirkan dua kubu yang saling bertentangan dan menciptakan chaos dimana-mana. Dan itu semua terjadi didepan hidung kita, sementara kita gak bisa melakukan apa-apa selain di paksa untuk menyimak. Hoaks cuiihh.

Anyway bukan itu yang pengen gue bahas pada postingan ini. But buat lu yang yang penasaran apa itu zine? Lu bisa follow akun resmi kami di @mediazine_ dan lu akan jumpai sebuah dunia baru yang kemungkinan besar lu belum jumpai sebelumnya. Gue jamin bray, hehe.

So akhirnya sampai pada hari ini dimana gue sedikit memaksa diri untuk menulis sebuah paragraph yang sebenarnya gak penting juga buat lu nyimak. But bukan itu perkaranya. Gue hanya ingin menyalurkan hasrat dan eksistensi di dunia bloggspot setelah beberapa lama gue tinggal Karena harus focus pada zine yang gue kerjain. Sejauh ini missaticum menjadi zine personal dan mediazine menjadi zine kolektif yang pernah gue kerjain. Dan gue cukup puas akan hal itu, meski dari segi nominal gue belum bisa mendapatkan keuntungan apa-apa. Hehe.

Dan inilah episode baru yang harus gue mulai dalam perjalanan panjang ini. “inget paragraph ini hanya bacotan yang gak ada hubungannya ama lu pada”. Yap akhirnya dengan segala keterpaksaan dan kekacauan yang terjadi gue harus meninggalkan kota bogor setelah 8 tahun gue menghabiskan hari-hari di sana. Sedih memang, bagaimana tidak? Bogor adalah satu-satunya kota yang paling nyaman dan yang paling teduh yang pernah gue tinggali.

Pernah suatu ketika temen bertanya:

“Zer, lu tau gak apa yang bikin lu betah di Bogor?”

Seketika gue bingung, BLENGG gue langsung ngebleng. Yang jelas terlalu banyak alasan kenapa gue se-begitu betahnya untuk tinggal di kota Bogor. Sepintas gue berpikir mungkin karena hujan? But bukan itu. Terlalu melankolis jika jawabannya adalah hujan.

Pada akhirnya gue sadar ternyata Lingkungan, serta kebiasaan (Keramahan) orang sunda lah yang membuat gue nyaman disana. Pernah gue berimigrasi ke kota Jogja dan kurang lebih hampir setahun penuh gue hidup disana. Tapi lagi-lagi, gue seolah-olah mendapat panggilan untuk sesegara mungkin kembali ke Bogor. Gue sadar, ada kewajiban yang harus diselesaikan dan itu adalah: Urusan akademik yang sebelumnya telah gue mulai di Bogor. Namun sayang, usaha yang gue lakukan belum maksimal dan gue harus menerima kenyataan bahwa gue gagal dalam kuliah gue. Sebuah kekecewaan yang benar-benar membuat gue frustasi. Hingga hari ini gue masih menyesali kegagalan gue akan hal itu. I hate my self.

Akan tetapi gue gak mau mengisi paragraph ini dengan penyesalan-penyesalan semu yang tiada arti. Kenyataan bahwa gue harus melanjutkan hidup seperti orang-orang pada umumnya harus gue lakuin. Dan hasilnya kini gue mencoba keberuntungan untuk melanjutkan sisa-sisa petualangan gue di kuta BALI. Hail bali salam kenal.

Akhirnya paragraph ini sampai kepada sebuah titik dimana mewakili semua argument gue untuk memulai segala sesuatu yang baru di kuta bali. Suasananya jauh berbeda, tidak seperti apa yang gue alami di bogor. Berbanding terbalik.

Selama di Bogor gue adalah seorang tetuah yang jika berbicara maka itu adalah suara sabda, maka disini gue harus memulai segala sesuatu dari nol. Tidak ada konsekuensi selain gue harus cerdas dalam bersosialisasi dan berinteraksi.

Yap bali adalah pelarian gue berikutnya. Entah sampai kapan gue akan berpetualang disini. Yang jelas hanya Tuhan yang tahu.

Belum banyak yang bisa gue ceritain tentang Bali, akan tetapi sejauh ini gue masih leluasa menyaksikan sunset setiap sorenya secara gratisan. Selain lalu lalang para bule dengan tanktopnya yak. Wkwkwk. Yoi Karena kalo di Bogor gue harus mencari puncak gunung untuk melihat pemandangan seperti ini. Entah ketika dia terbit atau kah ketika dia tenggelam. Butuh sebuah gunung dan tentunya sebuah perjalanan panjang nan melelahkan untuk membayar semua itu. F*cking sunset and sunrise.

Oia sedikit informasi, akhirnya gue khatam untuk wilayah jawabarat. Alhamdulillah kawan serta kerabat lah yang menghantar gue untuk meng-khatam seluruh gunung yang ada di Jawabarat. Tentunya semua demi sunset atau sunrise semata. Terimakasih semesta, meski gue gagal dalam banyak hal tapi gue masih sanggup membuat beberapa hal laiinnya yang mungkin saja orang lain tidak dapat melakukannya.

So bali bantulah gue untuk memulai segala sesuatunya disini. Jika di antara kalian yang mempercayai teori “Semua manusia atau setiap orang mempunyai dua sisi”?? Maka gue setuju dengan kalian.

Yap pernahkah kalian berpikir ketika kalian mampu berbicara dengan diri sendiri?? Bergumam atau bahkan marah dengan diri sendiri?? Yap itu seringkali gue rasakan. Dan tentunya kalian semua pernah mengalaminya. Hanya saja muatannya berbeda, karena kemudian ada yang menyadarinya dan lebih banyak yang tidak menyadarinya.

So gue harap sisi lain dari tubuh ini bisa melanjutkan petualangan gue selama disini, gue hanya mampu berharap pada diri sendiri. Dan tentunya kepada semesta di bali. “Aku berharap aku bisa tetap berjuang”. Life is struggle.

Bali 13 maret 2019, canggu, Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar