Sebuah Catatan Permulaan bagian 4


                Entahlah, Beberapa hari ini suasana hati kembali meredup. Apapun yang menjadi penyebabnya gue bahkan terlalu sukar untuk mendefenisikannya. Sementara itu, dari layar handphone terus muncul pemberitahuan bahwa Bali sedang di guyur hujan badai di sertai petir namun masih dalam skala ringan. Di lain sisi, hingga pukul 03.40 Wita gue masih terjaga. Entahlah, gue hampir lupa kapan terakhir kali gue bisa tidur dengan nyenyak. Rasanya begitu sukar untuk tidur nyenyak. Bayang-bayang kegagalan terus menghantui. Gagal dalam perkuliahan, pujaan hati yang malah pergi, hingga frustasi terhadap pekerjaan yang tak kunjung datang benar-benar membuat gila. 

Teringat beberapa tahun silam, mantan istri gue pernah bilang “lu adalah benalu” yang hanya bisa menempel dan hinggap pada tubuh seseorang. Belakangan gue baru paham, ternyata apa yang pernah di ucapkannya adalah sesuatu yang nyata. Gue bagai parasite yang hanya mampu bertahan hidup di lapisan dalam bagian kulit daripada tubuh seseorang. Lalu ketika gue menyadarinya, yang tersisa hanya kesia-siaan dan kehinaan. Alangkah buruknya diri gue ini.

Hampir sebulan gue di bali dan ternyata sejauh ini Bali belum banyak membantu. Bali hanya sekedar menjadi tempat pelarian, sembunyi dari para anjing penjilat penegak hukum. Fuck the all cops. Ngakunya penegak hukum tapi nyatanya hanya memeras. Sudah banyak temen-temen gue yang jadi korban dari praktek busuk itu. Siapa bilang pemerintah hari ini peduli terhadap para pengguna ganja?? Rehabilitasi?? Fuck bullshit. Atau lu yang sok ngebela ganja medis? Heh anying masih banyak manusia normal yang terus di bui hanya gegara Ganja. Dan kalian masih belum menyadarinya, siapa yang sesungguhnya di kriminalisasi?? Gue benar-benar benci dengan segala kekacauan ini. Anjing.

Dan Inilah mimpi terburuk dari hidup gue, di cari oleh segerombolan orang brengsek yang ngakunya penegak hukum hanya karena menggauli cannabies. Ahh tae rasa-rasanya ingin mati rasanya. Setelah melewati begitu banyak kegagalan, kini kegagalan lainnya seolah-olah berdiri di depan sedang menunggu. Menanti gue untuk tumbang. Seperti segerombolan srigala yang sedang mengintai mangsanya. Apakah ini balasan yang setimpal untuk menebus kesalahan dan kelalaian gue di hari-hari yang lampau?

Fuck sebuah pengakuan yang tak pantas jika hari ini gue mulai merindukan Bogor. Entah karena alasan yang terselubung di balik pernyataan ini, ataukah sudah sewajarnya gue untuk merindukan kota Bogor? Lalu kenapa gue gak merindukan Rumah? Padahal rumah gue di ujung lainnya, di Timur nusantara. Lalu kemudian gue tersadarkan bahwa gue ternyata gak bisa pulang untuk kembali kerumah. Dan semua itu bagian dari penebusan dengan harga mahal akan kebebasan yang bablas dari masa lalu. Sebuah kekacauan tanpa konsep, tanpa prosedur dan hanya berujung kepada penyesalan yang tak henti-henti.

Dan begitulah, pada akhirnya gue terlalu takut dan khawatir jika masalah dan segala kebusukan gue malah kegiring lalu sampai kerumah. Sebuah malapetaka dan kiamat yang gue ciptain sendiri tentunya. Ah entahlah, bahkan kata-kata lewat tulisan ini susah di cerna rasanya. Pulang malu tak pulang rindu.     

Yap awalnya gue kira dengan meninggalkan Bogor maka hilanglah juga semua masalah dan permasalahan yang pernah gue ciptain di sana. Baik yang di sengaja maupun yang tidak disengaja. 
Tapi  nyatanya nggak. Semua kebusukan itu malah menjadi hantu yang terus menghantui. Terus mengibiri sisa-sisa kepercayaan dalam diri ini. Optimisme yang malah memudar, struggle yang ikut menghilang, dan juga rebell yang perlahan sirna. Membuat frustasi semakin meliar.  Begitulah sebagian jiwa gue yang ikut terperangkap dan terjebak dengan segala ketakutan ini.

Gue penasaran, apakah lu pernah ngerasain ketika tubuh lu keluar dari tubuh lu yang lainnya. 
Kemudian menyaksikan betapa hina-nya hidup lu selama ini? Menyaksikan tubuh lu yang lainnya menjalani hari-hari dengan topeng kemunafikan? Berpura-pura dalam kepura-puraan? Pura-pura bahagia, pura-pura tertawa, pura-pura punya kebebasan. Padahal nyatanya lu terkekang. Terkekang dengan segala aturan yang telah mengikat. Apakah lu sadar bahkan ketika lu berak, lu kencing semua telah di atur? Gue punya bukti kuat, bagaimana caranya diri kita di control dan di kendalikan. Bak domba yang sedang di gembala.

Heh anying hidup lu telah di rancang buat ngikutin aturan!! Fuck lah. Gue bahkan gatau kepada siapa segala murka ini harus bermuara.

Yap mungkin saja ini adalah egoisme yang telah memupuk. Ngerasa sok paling bener, sok paling bijak, sok paling tau. Padahal otaknya kosong, isinya cuman kardus usang yang udeh gak kepake.

Shit nasib gue sial amat yak. Kamprett!!!!

Oh tidak ataukah ini yang dinamakan Karma????

Lalu jika benar karma maka kepada siapa gue harus mengadu?

Tuhankah?

NGGAK, gue belum pantas untuk mengadu kepada Tuhan. Tuhan terlalu agung untuk menyelesaikan karma dan segala kesialan ini.

Jika kematian adalah pilihan solutif maka sudah lama gue mengambil keputusan itu. Orang bijak pernah mengatakan “Namanya perspektif, ia bebas hinggap kemana saja dan tergantung individu yang di singgahinya. Lalu ia bebas memaknai bahwa hidup dan mati sama artinya. Lalu kenapa kamu memilih hidup? Ya karena gak ada bedanya ama mati.”

Ah entahlah, segala kemurkaan ini tidak lebih dari omong kosong. Segala tipu daya dalam hidup ini harusnya cukup menjadi alasan agar tetap bertahan hidup. Keep reel, keep moved. Bahwa hidup dengan kesia-sian adalah malapetaka dan kiamat yang gak semestinya lu bagi dengan orang lain. Tapi apalah daya, mungkin gue adalah salah satu orang yang paling sial. Tapi gue selalu sadar di luar sana masih banyak orang yang bahkan lebih memilukan dari gue. Tenang kawan, gue lebih menyedihkan dari kalian. Bertahanlah, percayakan saja bahwa sesudah hujan badai ada pelangi yang menghampiri.

Ini bukan kisah sedih atau keluhan atas keberakhiran dari segalanya. Tidak. Ini adalah gerbang pencarian selanjutnya, sebuah kesempatan untuk menebus segala sesuatu dari masa lalu yang disebut dengan "kegagalan."

Gue harus memaksa diri dan yakin bahwa ini adalah permulaan. Bukankah selalu ada yang namanya kesempatan kedua?

Atau, gue udeh melewatkan kesempatan kedua itu? Ahh entahlah, gue harus percaya bahwa semuanya telah di rancang  dan di atur oleh Sang Maha Agung. Tuhan Semesta Alam.

Come on bali. Bantu gue dengan keajaiban lu. Gue butuh sebuah keberuntungan. Butuh kebaikan hati dari semesta di tanah bali. Oh para leluhur turun lah dari langitmu dan bantulah aku yang mulai merana ini.

Email gue bahkan gada balesan. CV gue pun gada ada respon. Tak ada tetanda panggilan perihal pekerjaan. Oh no usaha gue belum maksimal!!!

Haha gue jadi teringat dengan acara di sebuah stasiun televise yang isinya lawakan,. “bawa map bawa map,. Cari pekerjaan,.” hadoh mang Saswi. Di tengah suasana gundah gulana ini lu masih sempet-sempetnya nongol di benak gue. Haha thankslah. Mengenang gelagat lu membuat gue tertawa kecil walau sejenak.

Bila mau menyanggah soal kencing onta jangan dari sisi akal sehat. Cari sisi lain., jangan kau mengaku hidup sebelum kau sanggup tertawakan akal sehat dan kematianmu. Ah hidup kau terlalu rumit untuk dijadikan sebuah sajak.
Jakarta kerass

Bogor beriman
Jogja I miss you
Bali hai

Canggu, Bali 23 Maret 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar