Sebuah Catatan Permulaan bagian 12


                Okey kita mulai dengan mengucapkan “Happy International Weed Day” 20 April 2019. Sebuah peringatan hari besar skala Global perihal tanaman Ganja dan kegunaannya. Awalnya secara personal bahasan mengenai tanaman ganja adalah sesuatu yang menakutkan karena dapat mengakibatkan sebuah kefatalan, mengingat track record gue sebagai pemakai aktif. Dan alasan lainnya tentu karena UUD 1945 telah mengatur tentang tindak criminal baik pemakai maupun pengedar perihal penyalahgunaan Narkotika jenis Ganja. Dan itu cukup menjadi alasan kenapa Ganja menjadi sesuatu yang sakral. Baik dalam penggunaannya maupun ketika membicarakan keberadaannya diruang public. Apalagi dari segi bisnis di pasar gelap, Ganja selalu berkoneksi antara satu dan yang lainnya. Sehingga menjadi suatu keharusan dalam menjaga kerahasiaan serta pemeliharaan daripada jalur peredaran antar inter-koneksinya.

Sejauh ini gue bahkan berani berdebat akan jenis-jenis Ganja dan efek samping yang dapat ditimbulkan olehnya. Dari sekian banyak Ganja yang beredar di pasar gelap, ada beberapa jenis yang kemudian menjadi favorit di kalangan para pengguna. Dari tingkat ke-High-annya sampai kepada berapa lama durasi sesorang berada dalam pengaruh akibat asap yang ditimbulkannya (Celeng). Asalkan kalian tahu Ganja tidak membahayakan secara fisik, apalagi menyebabkan kerusakan pada organ-organ vital didalam tubuh. Berbanding terbalik dengan apa yang seringkali di kampanyekan oleh BNN (Badan Narkotika Nasional). Meski begitu hal ini tidak layak untuk di perdebatkan dalam paragraph ini.

Bukan tanpa alasan kenapa gue se-begitu betahnya berada dikota Bogor. Dan nampaknya catatan ini mulai menampakan identitasnya bahwa ini adalah sebuah salinan pengakuan selama perjalanan ini berlangsung. Dan gue cukup sadar untuk melakukan ini selama nafas masih menderu dengan liar.

Okey kita kembali ke kota Bogor. Di akhir tahun 2010 gue memutuskan untuk melanjutkan studi (kuliah) di kota Bogor, seperti yang gue ceritakan pada bab awal ketika catatan ini dimulai. Tahun 2011 akhirnya gue tercatat sebagai mahasiswa aktif di salah satu Universitas Swasta ternama dikota Bogor. Singkat cerita, rupanya gue cukup gesit untuk berbaur dan beradaptasi. Sehingga untuk mendapatkan kawan baru bukanlah hal yang rumit untuk gue lakuin. Factor ini juga lah yang kemudian mengantar gue untuk mengenal jenis-jenis Ganja di pasar gelap dalam ruang lingkup mahasiswa serta Jalur peredarannya. Baik dari pemakai, pengedar, atau juga siapa yang menjadi pemakai sekaligus pengedar. Tentunya gue butuh waktu hampir 2 sampai 3 tahun untuk memahami dan mempelajari serta mengantisipasi dari bahaya yang di akibatkan jika berani menggauli Ganja. Baik dari sisi pemakai maupun sebagai pengedar (Bisnis).

Singkat cerita, suatu ketika temen sekamar gue berujar.

“Zer, lu mau bisnis gak?”

Tanpa pikir panjang gue bilang hayuuu. “Emang bisnis apaaan?”

“Jangan banyak nanya ikut ajah, nanti juga lu tau”. Ungkap temen gua.

Selang beberapa saat kemudian handphone temen gue berdering dengan kencang. Tanpa ada pertanyaan yang keluar dari mulut gue, kami pun meluncur pergi setelah temen gue mengangguk-ngangguk pertanda mengerti akan instruksi dari ujung telephone.

Beberapa saat kemudian, tibalah kami di sebuah perempatan jalan protocol kota Bogor. Dari ujung jalan terlihat beberapa toko bunga. Di ujung yang lain nampak deretan toko ikan yang bersebelahan dengan sebuah rumah makan padang. Dalam hitungan menit semenjak kedatangan kami, tiba-tiba temen gue memberi intruksi setelah membaca messagge yang masuk:

“Zer lu disini ajah, biar gua yang samper”. Ucapnya.

Gue pun menganggukan kepala pertanda setuju.

Tidak jauh dari tempat gue memarkir motor, temen gue berjalan menuju tong sampah yang berada di sisi jalan lainnya. Karena posisinya yang berseberangan, gue gak bisa melihat dengan jelas siapa yang ia temui. Di lain sisi gue ngikutin apa kata temen gue tentunya. Yaitu gue kudu nunggu dimari.

Selang beberapa saat, temen gue kembali dan tanpa basa-basi langsung menancapkan gas kemudiaan melaju pergi. Setibanya dikossan ia langsung memberi kode, seolah-olah menyalahkan lampu hijau tanda bahwa ia akan memberitahukan sesuatu. Sepintas, ia sudah tahu apa yang akan gue tanyakan perihal lalu-lalang barusan yang gua bdua kerjakan.

“Tadi siapa moy?”

“Itu mah partner, Nih ambil duit,”

Terlihat beberapa lembar pecahan lima puluh ribuan.

“Oia ini lu mau nyobain gak?” Tanya si amoy.

“Apaan ini?”.

Tampak beberapa linting dalam bungkus rokok yang sepintas terlihat seperti pocong dalam ukuran mini.

“Udeh isep aja, kek ngeroko tapi asapnye jangan di buang”. Jelas dia sekali lagi.

“Gak brasa apa-apa”. Kata gue lagi.

“Iyye tunggu aje, nanti juga naik”.

Tak butuh waktu lama. Kami bdua pun terhanyut dalam tawa dengan mata yang memerah. Yap semua pocong mini itu gue bakar tanpa ada sisa sama sekali.

Gue bahkan gak menanyakan perihal dari mana dan dari siapa ia mendapatkan barang ini. Yang jelas barang ini hampir selalu ada setiap harinya. Sementara itu, di sisi lain gue telah terhanyut dan keasyikan dengan fantasi yang di sebabkan gulungan mini yang meyerupai pocong itu. Dan hal ini pun berlangsung selama beberapa tahun secara terus menerus.

Di tahun berikutnya, tepatnya di awal tahun 2014 gue memutuskan untuk meninggalkan kota Bogor dan menuju kota Yogyakarta. Ada alasan lain yang menyebabkan gue harus mengambil cuti lalu bergegas ke Jogja. Dan sepertinya, bahasan ini akan kita bahas pada bab lainnya. Oke next.

Meski begitu, ini adalah permulaan lainnya dimana gue yang sebelumnya hanya sekedar pemakai kini menjadi seorang pengedar. Tentunya hal ini berlangsung ketika gue sudah memutuskan untuk tinggal lebih lama di Yogyakarta.

Ada beberapa alasan yang mendasar kenapa gue berani melakukan hal ini. Pertama, Ganja (cannabies) sangat jarang untuk di temui di kota jogja. Kedua, pemakainya banyak. Ketiga, keuntungannya bisa 2x lipat jika di bandingkan dengan keberadaannya di Bogor. Keempat, jogja bisa dikategorikan tempat yang aman atau safety untuk berbisnis Ganja (jual-beli).  Dan yang terakhir, hal ini harus gue lakukan dengan tujuan bertahan hidup (Survival).

Lalu pertanyaannya darimana gue mendapatkan stoCk Ganja?? Ya tentunya dari Bogor. Dan semua itu gue lakukan seorang diri yaitu: Melakukan perjalanan antar Bogor-Yogya setiap bulannya.
Perlu diketahui ada beberapa jalur aman untuk menghindari pemeriksaan baik polisi ataupun penegak hukum lainnya. Tentunya ini diluar jalur penerbangan (Pesawat) ataupun jalur darat (Kereta Api). Meski begitu hal ini tidak pantas untuk di bahas dalam paragraph ini. Okey kita next.

Akhirnya jogja menjadi puncak dimana gue bisa dengan leluasa mengendalikan baik sebagai pemakai maupun sebagai pengedar. Di lain sisi, muncul sebuah gerakan Legalitas Ganja yang cukup menghebohkan media pada saat itu. Tentunya pro kontra pun tak bisa dihindarkan. Dalam waktu yang bersamaan pula, Ganja kemudian dinyatakan sebagai solusi alternative dari sisi medis. Meski belum ada pengakuan secara resmi dari pihak pemerintah, Gerakan Legalisasi Ganja tetap mengobar dan berhasil memberikan edukasi terhadap masyarakan umum, lebih khususnya kepada para pegiat Ganja. Kelompok yang mengatasnamakan Lingkar Ganja Nusantara (LGN) sebenarnya bukan organisasi ataupun gerakan yang baru. Mengingat salah satu senior gue dikampus dulunya pernah terdaftar sebagai anggota aktif dari gerakan ini. Sehingga ketika gerakan ini berhasil menyedot perhatian public baik masyarakat awam maupun dari kalangan elit dari tatanan kepemerintahan gue tetap berdiri di posisi yang berseberangan.

                Pada intinya perjuangan Legalisasi Ganja harus di dukung secara sporadis apalagi dari kalangan terpelajar seperti golongan daripada Mahasiswa. Artinya edukasi perihal tanaman Ganja memang sudah seharusnya menjadi agenda yang di sebarluaskan dalam menanggapi perspektif masyarakat awam terhadap tanaman Ganja. Apalagi belakangan solusi yang di tawarkan dari ganja sangat bervariasi. Dari serat-seratnya, akar, batang bahkan sampai kepada daun-daunnya mempunyai kegunaan dan fungsinya masing-masing.

Berangkat dari pemahaman personal, gue akhirnya setuju jika Ganja (Cannabies) mempunyai hubungan erat dengan keberlangungan kehidupan bermasyarakat. Tentunya hal ini sudah di bahas berulang kali oleh gerakan LGN Indonesia di setiap kesempatan. Baik dari seminar maupun diskusi juga lewat media-media antimainstream yang ada. Hingga sampailah kita pada hari ini, fakta bahwa Organisasi LGN mulai menemukan titik terang dari perjuangannya selama 10 tahun kebelakang patut untuk diperhitungkan. Selamat “KALIAN LUAR BIASA”. Yap apapun itu Ganja bukan Narkotika. Meski begitu gue tak cukup pantas untuk menjadi bagian dari ini. So kita skip ae.

Kembali ke Yogyakarta, semua berjalan lancar tanpa ada Kendala berarti. Pernah suatu ketika stok di jogja mulai menipis dan gue harus kembali ke Bogor demi keberlangsungan bisnis yang telah gue rintis. Wanjaaayy.

Sekembalinya dari Yogyakarta, sistuasi di Bogor makin menggila. Peredaran Ganja di lingkungan kampus seolah tak mengenal jalur. Kata orang Bogor mah “mainnya jorok”.  Dan situasi ini harus gue hadapi di samping banyaknya kawan-kawan gue yang merintis bisnis yang sama. Jadi kalo boleh gua kasitau mah Ganja di bogor terlalu banyak. Ampe tumpeh-tumpeh njing. WTF gak??

Belakangan gue baru menyadari bahwa ternyata kampus gue adalah satu-satunya kampus yang menjadi Prioritas dari BNN dalam pemberantasan Narkotika jenis Ganja. Hal ini terbukti dengan seringnya terjadi penangkapan oleh BNN terhadap mahasiswa di lingkungan kampus. Bahkan para penegak hukum tidak segan-segan masuk dalam wilayah kampus untuk mengeksekusi atau menangkap target operasi yang telah mereka kantongi nama per nama-nya. Sebuah pemandangan yang bertolak belakang dengan atmosfir dan dinamika dunia pendidikan tentunya. Lebih sadisnya, pihak kampus telah bekerja sama dengan pihak penegak hukum. Bayangkan, aparatur kampus bekerja sama dengan polisi lalu menangkap mahasiswanya!? Anjing gak tuh!?

Yang lebih memuakkan lagi adalah setiap kali kejadian atau penangkapan, tidak sekalipun media yang meyoroti kasus penangkapan yang terjadi. Padahal kejadian seperti ini bahkan berulang kali hampir setiap bulannya. Usut demi usut ternyata pihak kampus telah meredam dan mengantisipasi akan kebocoran informasi semacam ini. Singkatnya “Lempar batu sembunyi tangan”. Yap kampus tidak akan mengambil resiko untuk pencemaran nama baik jika kemudian di soroti oleh media. Saik gak tuh!?

Yap secara personal gue punya kecenderungan yang bertolak belakang dengan semua kebijakan yang pernah kampus terapkan. Universitas akhirnya menjadi ladang bisnis daripada beberapa kelompok tertentu yang menjabat di structural universitas. Biaya kuliah yang naik setiap tahunnya, baik SSP, maupun SKS. Sampai kepada proyek pembangunan yang terus menerus dengan kedok perbaikan infrastruktur oleh beberapa kelompok yang mempunyai kuasa dan posisi di ranah universitas. Akan tetapi hal ini akan melebar jauh jika pembahasannya tetap berlanjut. Dan gue ga punya wewenang untuk menyatakan adanya tindak Korupsi diwilayah kampus ini. So sekali lagi kita skip.
Okeh di tengah maruknya pasar gelap perihal peredaran Ganja di Bogor, beberapa kejadian penangkapan oleh penegak hukum terhadap kawan-kawan sekitar membuat gue untuk berpikir 2x dalam melanjutkan bisnis yang telah gue rintis di Yogyakarta.

Ada beberapa cara yang akan gue paparkan perihal bagaimana caranya untuk mendapatkan Ganja untuk wilayah Bogor dan sekitarnya.

Pertama, dengan cara adu benteng. Ini hanyalah sebuah istilah dimana, lu menjalin komunikasi dengan seseorang yang lu gak kenal sebelumnya. Hanya mengandalkan telephone genggam untuk saling percaya dan mempercayai. Untuk masalah pembayaran, semuanya menggunakan system transfer. Istilah populernya “ada uang ada barang”. Transaksi semacam ini biasanya di lakukan di tempat terbuka atau jalanan umum, sehingga cara seperti ini paling beresiko. Karena bisa saja orang yang akan lu temui adalah seorang Polisi yang sedang menyamar. Serem kan?

Kedua, dengan cara antar jemput. Nah untuk jenis transaksi seperti ini bisa di katakan lebih aman atau (Safety). Jadi lu hanya menjemput barang sesuai tempat yang telah dijanjikan. Lagi-lagi transaksi semacam ini mengandalkan intruksi lewat telephone genggam.  Bedanya intruksi yang lu terima adalah dari orang yang telah lu kenal (Partner Bisnis) yang sudah tentu dapat di percaya. Biasanya barang (Ganja) telah di letakan di pinggiran trotoar, ataupun biasa di letakan di dekat tong sampah. Sejauh pengalaman gue, gue lebih sering mengambil barang di dekat tong sampah. Akan tetapi transaksi semacam ini tetap meninggalkan resiko yang sama. Bayangkan lu sedang di awasi oleh Polisi di ujung jalan lainnya. Tentunya lu baru akan di tangkap atau di ciduk ketika posisi lu sedang memegang atau membawa barang bukti yang tentunya adalah Ganja siap edar.

Dan yang ketiga, System orang ketiga. Cara seperti ini yang paling sering gue terapkan, pasalnya lu hanya tinggal menyiapkan uang kontan sesuai harga yang beredar di pasaran. Bahkan cara seperti ini lebih aman dan safety di bandingkan dua cara diatas. Transaksi semacam ini tentunya tidak berurusan dengan Bandar utama atau lebih tepatnya lu hanya berurusan dengan orang kedua. Tentunya cara ini terhindar dari intruksi lewat telephone dan yang lainnya. Jadi lu tinggal duduk manis dan di samperin atau istilahnya system delivery. Yoi kan!?? Su mantip su ngenah suruh pulang. Ckckckck.

Meski penerapan di lapangan akan berbeda, namun ketiga cara di atas selalu berkaitan dengan orang ketiga. Orang ketiga yang dimaksud disini adalah Bandar. Dan dari semua kasus yang pernah gue alami, rata-rata Bandar Narkoba jenis Ganja dikendalikan dari balik lapas atau bisa disebut dari dalam sel. Meski begitu sampai sekarang gue bahkan belum bisa membedakan mana Bandar sesungguhnya dan mana Bandar yang ecek-ecek sih. Wwkwkk. Karena semuanya butuh duit bro.
Sampai tulisan ini dimuat gue telah meninggalkan semua jejak di atas. Ada banyak alasan tentunya kenapa gue harus meninggalkan dunia gue dengan Ganja. Pertama, banyak dari kawan-kawan gue yang kemudian berakhir di penjara. Kedua, bisnis Ganja tak lagi menjanjikan bahkan UUD Narkotika terbaru me-nomer satukan Ganja sebagai Narkotika golongan satu. Ketiga, sudah saatnya untuk berubah. Dan tentunya butuh adaptasi baru untuk memulai permulaan ini.

Gue sadar klaim seperti ini tidak selayaknya untuk di sebarluaskan. Tapi gue percaya, bahwa sudah saatnya kita untuk kembali menanam apa yang seharusnya di tanam. Dan itu adalah tanaman Ganja. Bukankah sebagian besar dari kita adalah para petani? Bayangkan jika Negara mendukung dan mem-fasilitasi para petani Ganja. Yap gue tentunya akan dengan senang hati menjadi seorang petani seperti apa yang pernah nenek moyang gue ceritakan. Buruh-tani-nelayan adalah identitas kita sebagai orang Indonesia. Panjang Umur Pejuangan.

Sebagai penutup, kenapa orang miskin di larang mabuk, Sementara orang kaya di perbolehkan? Oplosan dilarang tapi minuman impor boleh di perjual belikan. Kebun Ganja di musnahkan sementara Negara tetangga membudidayakannya. Banyak orang di perbolehkan menenggak alcohol tapi kenapa segelincir orang di tangkap hanya karena menanam Ganja.

Benar-benar paragraph yang membingungkan, Indonesia dan birokrasi yang terbalik.  Sampai jumpa di esok hari.

BYE boy bye girl.

Canggu, Bali 21 April 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar