Bagian 6


                Begitu aku memikirkan yang satu, aku dicerahkan oleh kesemarakan yang tiga. Begitu aku membedakan yang tiga maka aku segera di bawa kembali kepada yang satu. Ketika aku memikirkan salah satu dari yang tiga, aku memikirkannya secara keseluruhan hingga mataku penuh. Sementara bagian yang lainnya yang lebih besar dari apa yang kupikirkan terluput dariku.

Sesungguhnya aku selalu terjebak dengan rindu. Merindu kepada mereka yang menjauh. Oh perempuan beri aku seteguk asi.

Seperti kisah sendu aku mencari kepusat rasa, mencari kepusat raga. Seperti tanah kepada air, seperti langit kepada bumi. Jika aku adalah dosa maka jangan biarkan aku mati sendiri. Aku menantimu menuntunku pulang.

Duhai kekasih kenapa bahagiaku begitu rumit? Seperti arungan kapal si bajak laut, rindu ini meminta berlabuh.

Termenung bahkan terpaku oleh kehampaan, kenapa kau begitu angkuh wahai perempuanku?

Satu persatu rindu itu mulai berguguran, merubah makna menjadi asa. Menjadi dendam yang kemudian terkunci. Perlahan menjadi kesumat menunggu waktu untuk bereingkarnasi.

Kenapa kau memilih pergi wahai perempuanku?? Hidup memang telah di jejali oleh angkara dan dusta. Tapi aku tetap tak terima ketika kau dicuri di depan hidungku. Kau bahkan merelakan diri seperti merek handphone genggam di layar kaca. Kau di bayar begitu saja, lalu pergi dan hilang sesuka hati.

Lalu datang kembali kabut itu, seperti kabut di alam liar. Menyanyikan harapan memupuk asa yang terlanjur mendendam. Sajak kehidupan terlahir kembali.

Apakah ini bahagia?

Siapakah kita ini sebenarnya wahai manusia?

Seonggok daging congkak dengan belahan paha yang tiap saat menggoda nafsu?

Lalu kabut itu memberi tanda bahwa hidupmu ternyata masih bermakna. Jalan panjang bahkan tak berujung, Dan aku di beri sedikit keyakinan bahwa diri ini masih pantas berjalan hingga ke ujung jalan. Kabut itu terus bergairah membangkitkan arti bahwa burung bahkan capung pun sanggup hidup dengan kesendiriannya.

Kenapa kamu tidak?

Tapi kabut itu terlalu tergesa-gesa, cenderung memaksa hingga diri ini akhirnya tak sanggup mengiringi. Tak ada waktu untuk merenungkan yang lalu-lalu, rasa itu sudah terlanjur tumbuh di atas gelora yang tergesa-gesa. Meluncur kencang bak kereta besi. Lelaki itu pun tak sanggup mengejar hingga ke ujung jalan yang telah di janjikan.

Hingga di penghujung hari, kabut itu perlahan menghilang lalu pergi begitu saja. Seperti perempuan sebelumnya, kabut itu hanya sesebentar menghibur. Pelukan mesra belum sempat di pagi itu, Lelaki itu pun kembali di rundung sedih.

Lelah memang berjalan tanpa berpikir. Tapi tiba-tiba jejakmu muncul di dalam kesunyian. Dengan kenangan yang bergejolak. Siapakah kita yang rela memendam serat-serat kehidupan yang penuh dengan istilah penantian ini? Menanti yang tak kunjung datang, menunggu yang tak kunjung pulang.

Siapakah kita yang rela menanggung hasrat penuh siksa ini?

Lelaki itu menggerutu, bahwa rasa itu tak mungkin kembali pulang. Bahwa airmata sudah tak bermakna. Tak mungkin lagi tenangkan asa, lara, dan menghapus kesumat. Mengikhlaskan yang lalu untuk pergi jauh.

Masihkah ada aku di dalam kisahmu duhai wanita yang penuh ragu-ragu? Sungguh aku rindu berbagi tawa di dalam kisahmu.

Sajak berlalu dengan omong kosong tiada arti, hanya kehampaan yang tersisa di dalamnya. Seumpama sedih yang tak ada tempatnya. Seumpama lelah yang menjelma luka. Menggerakan jejak kenang baring-baring mesra di samping perempuan itu. Apakah ini kebenaran yang di paksakan? Ataukah kemunafikan dengan jejak romantisme?

Lalu siapa yang salah dan harus di salahkan?

Kasih melangkahlah denganku, lalui luka-luka berat itu dengan sedikit ketidakmungkinan ini. Tanpa air mata dan keluh kesah, hanya tarian tawa yang sesekali menghibur diri. Agar segenap gelisah itu tak lagi membara.

Oh kekasih hatiku, hapuslah gelisah ini. Agar lelaki ini tak lagi gundah dengan gelisahnya.

Keinginan itu masing-masing, kebohogan itu masing-masing. Maka jangan biarkan ia larut dalam satu larutan majemuk yang mengganggu gugat sumpah setia yang sudah terucap. Biarkan ia terbang bebas tanpa batasan yang menghalangi pengorbanan. Itu adalah ketentuan penyesalan masing-masing tanpa harus menangis.

Maka tertawakan saja ketika Tanya “kemanakah aku harus menangis”? Lihat saja siapa yang mati dan siapa yang tidak. Itu adalah kehendak Tuan yang tak bertuan. Jangan tanyai siapa DIA. Sesungguhnya Dia tahu apa yang kita tahu.

Ironis, menata derita dalam hati yang telah pecah berkeping-keping. Siapakah yang akan mampu menata hati yang telah terlanjur menghitam pekat itu?

Waktu bahkan memanjang tapi lelaki itu masih saja terpaku dengan waktu yang telah berlalu. Kurang dari menit-menit berlalu, lalu berikut tiap detik-detiknya. Siapa yang ingkar bahwa kita adalah waktu?

Jangan kaget dengan akrobat cinta semu, semua wanita sama saja. Lebih selamatkan kelaminmu. Biar kau tak mati oleh adukan selangkangan nantinya. Belajar lagi kawan., belajarlah dari lelaki itu. Sesungguhnya dia sedikit lebih tahu dari apa yang belum kau ketahui.

Ingat kawan ini bukan keberakhiran, Tapi ini adalah permulaan.

Seperti sediakala, kamu tidak akan bisa di hentikan!

Canggu, Bali 06 april 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar