Begitu aku
memikirkan yang satu, aku dicerahkan oleh kesemarakan yang tiga. Begitu aku
membedakan yang tiga maka aku segera di bawa kembali kepada yang satu. Ketika aku
memikirkan salah satu dari yang tiga, aku memikirkannya secara keseluruhan
hingga mataku penuh. Sementara bagian yang lainnya yang lebih besar dari apa
yang kupikirkan terluput dariku.
Sesungguhnya aku selalu terjebak dengan rindu. Merindu kepada mereka yang menjauh. Oh perempuan beri aku seteguk asi.
Seperti kisah sendu aku mencari kepusat rasa, mencari
kepusat raga. Seperti tanah kepada air, seperti langit kepada bumi. Jika aku
adalah dosa maka jangan biarkan aku mati sendiri. Aku menantimu menuntunku
pulang.
Duhai kekasih kenapa bahagiaku begitu rumit? Seperti arungan kapal si bajak laut, rindu ini meminta berlabuh.
Duhai kekasih kenapa bahagiaku begitu rumit? Seperti arungan kapal si bajak laut, rindu ini meminta berlabuh.
Termenung bahkan terpaku oleh kehampaan, kenapa kau begitu angkuh
wahai perempuanku?
Satu persatu rindu itu mulai berguguran, merubah makna
menjadi asa. Menjadi dendam yang kemudian terkunci. Perlahan menjadi kesumat menunggu
waktu untuk bereingkarnasi.
Kenapa kau memilih pergi wahai perempuanku?? Hidup memang telah di jejali oleh angkara dan dusta. Tapi aku tetap tak terima ketika kau dicuri di depan hidungku. Kau bahkan merelakan diri seperti merek handphone genggam di layar kaca. Kau di bayar begitu saja, lalu pergi dan hilang sesuka hati.
Lalu datang kembali kabut itu, seperti kabut di alam liar. Menyanyikan harapan memupuk asa yang terlanjur mendendam. Sajak kehidupan terlahir kembali.
Apakah ini bahagia?
Siapakah kita ini sebenarnya wahai manusia?
Seonggok daging congkak dengan belahan paha yang tiap saat
menggoda nafsu?
Lalu kabut itu memberi tanda bahwa hidupmu ternyata masih
bermakna. Jalan panjang bahkan tak berujung, Dan aku di beri sedikit keyakinan
bahwa diri ini masih pantas berjalan hingga ke ujung jalan. Kabut itu terus bergairah
membangkitkan arti bahwa burung bahkan capung pun sanggup hidup dengan
kesendiriannya.
Kenapa kamu tidak?
Kenapa kamu tidak?
Tapi kabut itu terlalu tergesa-gesa, cenderung memaksa
hingga diri ini akhirnya tak sanggup mengiringi. Tak ada waktu untuk
merenungkan yang lalu-lalu, rasa itu sudah terlanjur tumbuh di atas gelora yang
tergesa-gesa. Meluncur kencang bak
kereta besi. Lelaki itu pun tak sanggup mengejar hingga ke ujung jalan yang
telah di janjikan.
Hingga di penghujung hari, kabut itu perlahan menghilang
lalu pergi begitu saja. Seperti perempuan sebelumnya, kabut itu hanya sesebentar
menghibur. Pelukan mesra belum sempat di pagi itu, Lelaki itu pun kembali di
rundung sedih.
Lelah memang berjalan tanpa berpikir. Tapi tiba-tiba jejakmu
muncul di dalam kesunyian. Dengan kenangan yang bergejolak. Siapakah kita yang
rela memendam serat-serat kehidupan yang penuh dengan istilah penantian ini? Menanti
yang tak kunjung datang, menunggu yang tak kunjung pulang.
Siapakah kita yang rela menanggung hasrat penuh siksa ini?
Lelaki itu menggerutu, bahwa rasa itu tak mungkin kembali
pulang. Bahwa airmata sudah tak bermakna. Tak mungkin lagi tenangkan asa, lara,
dan menghapus kesumat. Mengikhlaskan yang lalu untuk pergi jauh.
Sajak berlalu dengan omong kosong tiada arti, hanya
kehampaan yang tersisa di dalamnya. Seumpama sedih yang tak ada tempatnya. Seumpama
lelah yang menjelma luka. Menggerakan jejak kenang
baring-baring mesra di samping perempuan itu. Apakah ini kebenaran yang di
paksakan? Ataukah kemunafikan dengan jejak romantisme?
Lalu siapa yang salah dan harus di salahkan?
Kasih melangkahlah denganku, lalui luka-luka berat itu dengan
sedikit ketidakmungkinan ini. Tanpa air mata dan keluh kesah, hanya tarian tawa
yang sesekali menghibur diri. Agar segenap gelisah itu tak lagi membara.
Oh kekasih hatiku, hapuslah gelisah ini. Agar lelaki ini tak lagi gundah dengan gelisahnya.
Oh kekasih hatiku, hapuslah gelisah ini. Agar lelaki ini tak lagi gundah dengan gelisahnya.
Keinginan itu masing-masing, kebohogan itu masing-masing. Maka
jangan biarkan ia larut dalam satu
larutan majemuk yang mengganggu gugat sumpah setia yang sudah terucap. Biarkan ia terbang bebas tanpa batasan yang
menghalangi pengorbanan. Itu adalah ketentuan penyesalan masing-masing tanpa
harus menangis.
Maka tertawakan saja ketika Tanya “kemanakah aku harus menangis”? Lihat saja siapa yang mati dan siapa yang tidak. Itu adalah kehendak Tuan yang tak bertuan. Jangan tanyai siapa DIA. Sesungguhnya Dia tahu apa yang kita tahu.
Maka tertawakan saja ketika Tanya “kemanakah aku harus menangis”? Lihat saja siapa yang mati dan siapa yang tidak. Itu adalah kehendak Tuan yang tak bertuan. Jangan tanyai siapa DIA. Sesungguhnya Dia tahu apa yang kita tahu.
Ironis, menata derita dalam hati yang telah pecah berkeping-keping. Siapakah yang akan mampu menata hati yang telah terlanjur menghitam pekat itu?
Waktu bahkan memanjang tapi lelaki itu masih saja terpaku dengan waktu yang telah berlalu. Kurang dari menit-menit berlalu, lalu berikut tiap detik-detiknya. Siapa yang ingkar bahwa kita adalah waktu?
Waktu bahkan memanjang tapi lelaki itu masih saja terpaku dengan waktu yang telah berlalu. Kurang dari menit-menit berlalu, lalu berikut tiap detik-detiknya. Siapa yang ingkar bahwa kita adalah waktu?
Jangan kaget dengan akrobat cinta semu, semua wanita sama
saja. Lebih selamatkan kelaminmu. Biar kau tak mati oleh adukan
selangkangan nantinya. Belajar lagi kawan., belajarlah dari lelaki itu. Sesungguhnya
dia sedikit lebih tahu dari apa yang belum kau ketahui.
Ingat kawan ini bukan keberakhiran, Tapi ini adalah
permulaan.
Seperti sediakala, kamu tidak akan bisa di hentikan!
Canggu, Bali 06 april
2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar