Sebuah Catatan Permulaan bagian 8


Dek sekarang kamu dimana? Masih di bali? Ini kali kedua aku mergokin ibu menangis selepas sholat subuh. Tadi pagi aku coba buat nanyain ke si ibu,. Ibu bilang dia keinget ama kamu dek,. Ibu juga bilang kamu sebaiknya pulang dulu kerumah,. Liat si ibu sekalian liat si kembar. Ibu bahkan udah gak berangkat ke pasar belakangan ini,. Ibu bilang kamu gausah lagi mikir yang macam-macam, apalagi mikirin beban. Jadi gada alasan lagi buat kamu untuk ga pulang. Gimana dek? Kamu pulang aja dulu puasa kali ini,. Ibu mulai khawatir ama keadaan kamu dek,. Kamu mikir baik-baik aja dulu,. Kamu tinggal ngabarin kakak ajah kalo udah berubah pikiran.

Bommms,. Hari ini gue dikagetin ama sebuah pesan masuk dari kakak gue yang nomer satu. Kakak perempuan gue yang paling cerewet sekaligus yang paling judes. Dia menjadi nomer satu dan gue kebagian nomer empat. Meskipun dia udeh berkeluarga, dia masih tetep tinggal bareng di rumah. Ya semua karena ibu. Dari dulu ibu emang punya sifat yang cenderung gamau jauh-jauh dari anaknya. Dan gue sangat menyadari hal itu sedari kecil.

Mungkin karena pengaruh pemikiran orang zaman dulu,. Gue menyaksikan sendiri gimana keukeuh-nya si ibu ketika berdebat dengan alm bapak. Ibu gue bahkan gamau anak-anaknya untuk kuliah. Bukan karena alasan ekonomi, akan tetapi ibu takut kalo anak-anaknya bakal hidup susah kalo jauh dari rumah. Takut kelaperan, khawatir kalo sakit dan lain sebagainya. Dan itu terbukti ketiga kakak gue ga kebagian merasakan sensasi dunia perkuliahan.

Terkecuali kakak gue yang nomer tiga,. Setelah menikah dia akhirnya menyelesaikan kuliahnya. Itu pun karena emang udeh beda rumah sama si ibu. Maklum kakak gue yang ketiga cukup pintar dan cerdas. Dari zaman SMA ia sudah membuktikan dirinya dengan beberapa kali menjadi juara umum di sekolahnya. Alhasil tekadnya yang bulat perihal kuliah akhirnya terbayar setelah ia menikah.

Secara geografis rumah gue berada di pelosok yang sangat jauh jika di ukur dari ibukota. Kini dengan kecanggihan teknologi gue bisa faham kenapa si ibu punya kekhawatiran yang begitu mendalam. Gue bisa jamin hampir semua orangtua di daerah asal gue punya pemikiran yang cenderung sama. Dan itu salah satunya yang terdapat dari sifat si ibu.

Ya pada intinya semua wanita yang hidup sebagai seorang ibu cenderung punya kekhawatiran yang sama terhadap anak-anaknya. Dan itu juga yang selalu terpancarkan dari sosok ibu gue.

Gue berasal dari sebuah desa adat yang bernama Lamahala Jaya. Sebuah desa terpencil dengan basis muslim terbesar di pulau Adonara. Sementara itu, Adonara adalah sebuah pulau yang terletak di kepulauan Nusa Tenggara, yakni di sebelah timur Pulau Flores. Luas wilayahnya 509 km2 dan titik tertingginya 1.676 m. Pulau ini di batasi oleh Laut Flores di sebelah utara, selat Solor di selatan, serta selat Lewotobi di barat. Singkatnya sih gue anak pulau., wanjay anak pulau. Ckckckk.

Sebenernya sih gue ga terlalu kaget dengan pesan masuk yang di sampaikan oleh kakak gue,. Maklum dari semua anak-anak ibu, gue yang paling lama dan yang paling betah hidup diluar rumah. 3 tahun selama SMA gue udeh ninggalin rumah. Maklum tempat sekolah gue di tempuh dalam 18 jam menggunakan kapal fery. So secara mental gue udeh terdidik hidup sebagai anak kossan. Hehe.

Adalah kota Kupang, gue menghabiskan waktu 3 tahun disana. Perlu diketahui bahwa Kupang merupakan kotamadya dan sekaligus ibukota provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebagai kota terbesar di provinsi NTT maka kota Kupang di penuhi oleh para pendatang dan berbagai suku diantaranya; Suku Timor, Rote, Sabu, Tionghoa, Flores dan sebagian kecil pendatang dari Bugis dan Jawa.

Selama masa sekolah gue terhitung 3 kali pulang kerumah. Bahkan ketika kedua kakak perempuan gue menikah gue gak sekalipun pulang kerumah. Gue sih gak inget dengan jelas alasan kenapa gue gak balik,. Yang jelas gue cenderung enggan untuk pulang kerumah. Entahlah gue bahkan gak tahu alasan kenapa gue jarang untuk balik kerumah. Mungkin jarak yang jauh kali yak. May be.

So setelah 3 tahun di kupang, gue kemudian memutuskan untuk melanjutkan petualangan ke kota bogor. Mungkin gue terlahir sebagai anak kesayangan kali ye. Permintaan untuk melanjutkan kuliah di kota bogor terkabulkan begitu saja. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan kepribadian ibu sebelumnya. Tentunya gue punya trik xtra gimana caranya agar ibu mengabulkan permintaan gue supaya bisa ke bogor. Dan hal itu pun baru terealisasi setelah satu tahun kemudian. “jadi ane nganggur setahun bray sebelum berangkat ke bogor”. Wkwkwk proses negosiasinya alot cuy,.

Gue masih mengingat dengan baik ketika pertama kali gue balik kerumah setelah beberapa tahun gue kuliah. Ibu bahkan terkaget-kaget melihat anak keempatnya itu ketika gue tiba dirumah. Rambut gondrong yang terkesan urak-urakan membuat ibu langsung khawatir akan keberadaan gue selama ini ketika hidup di bogor. Ciuman hangat di kening kemudian di ikuti suara tangis membuat gue merasa bersalah ketika itu. Meski begitu gue yakin tangisan ibu kala itu karena rindunya yang sudah menumpuk terhadap anak keempatnya ini. Sampai sekarang gue masih bisa merasakan, kalo gue emang anak kesayangan emak gue. Wkwkwk. I miss u mom. Hikshiks.

Liburan telah usai dan gue pun kembali ke kota bogor. 8 tahun adalah waktu yang telah gue habiskan di bogor. Dan selama itulah gue menganggap diri gue seorang freeman. Hingga kini gue bahkan bungkam perihal keberadaan gue di Bali. Yap gue mulai ngerasa sungkan aja atas kegagalan gue sebagai seorang anak yang bertanggungjawab. Sehingga keputusan seperti ini harus gue ambil. Gue bisa aja pulang kerumah kapanpun gue mau. Hanya saja ada ribuan alasan yang mengharuskan gue untuk tidak pulang. Pulang malu tak pulang rindu. Hmppp.

Meski begitu beberapa bulan kemaren gue masih sempet di kunjungi ibu. Ibu emang sengaja datang ke Jakarta karena ada urusan keluarga, sekaligus beliau ke Tanah Abang untuk keperluan belanjaannya.

Sedikit informasi: Nyokap emang mental pedagang euy, jadi kitu weh. Datang ke jakarta sekalian belanja. Sekali mendayung 3 sampai 4 pulau terlewati. Wkwkwk. Emak gue paling jago deuh kalo soal dagang mah.

Tentunya gue seneng bukan kepalang ketika tau ibu akan datang ke Jakarta. Dan alhasil gue menang banyak selama ibu di Jakarta. Wahahha.

Beda lagi ketika kunjungan ibu kali ini. Gue tahu ibu marah, tapi gue juga tahu ibu ga akan marah di depan gue secara langsung. Setelah sebelumnya rambut gondrong kini gue menyambut ibu dengan rambut gimbal. Kalo dulu gue kerumah ibu hanya kaget, sekarang ibu makin spot jantung ketika melihat penampilan gue yang kian urak-urakan.

Meski begitu ibu tetap tenang dan memilih untuk tidak meluapkan amarahnya. Udeh gue bilang, gue tau ibu marah. Tapi gue juga tahu ibu ga bakalan marah secara langsung. Wkwkk maap mom, anakmu ini emang selalu hilang arah.

Beberapa minggu ibu di Jakarta membuat gue semakin sadar bahwa ternyata ibu sudah mulai menua. Bahkan jika di hitung ibu udeh punya 8 cucu sejauh ini. Dan hal ini semakin mempertegas bahwa ibu emang berada dalam fase usia lanjut. Dimana sudah saatnya beliau untuk mengurangi aktifitasnya yang padat dan sebisanya memperbanyak waktu untuk beristirahat. Wajahnya yang mulai mengeriput tidak serta merta membuat semangatnya meluntur.

Pernah ada kejadian ketika gue dan ibu pulang dari tanah abang. Tiba-tiba gue dan nyokap di samperin oleh seorang ibu-ibu. Dalam percakapan tersebut, si ibu-ibu itu bertanya ke arah gue. “dek ibu kamu makannya apa? Kok kuat banget ngangkat yang berat-berat?

Belum sempet gue jawab,. Nyokap udeh nyahut aje,. “Iya bu, saya mah orang jauh. Makannya singkong ama jagung titi”. Cletuk nyokap.

Mendengar jawaban tersebut, si ibu-ibu itu kembali bertanya,. “Emang asalnya darimana?”,.

Nyokap kembali menjawab,. “Saya mah orang Flores, jauh kalo dari sini mah”,.

Belum puas dengan jawaban nyokap,. Si ibu-ibu melihat kearah gue,.

Sontak gue reflex dan kemudian perlahan gue menjelaskan ke si ibu-ibu tersebut perihal maksud dan tujuan gue ama nyokap berada di stasiun kereta api tanah abang.

Sebelum si ibu-ibu itu pergi, “Ia berucap, jagain mama kamu ya dek. Masih kuat banget padahal udah tua, hati-hati juga kalo nanti pulang ke Flores”.

“Iya makasih, sahut gue pelan”.

Dan begitulah ibu. Beliau selalu terlihat bersemangat dan kuat meski usianya yang semakin menua.
Akhirnya beberapa minggu pun berlalu dan sudah saatnya ibu untuk pulang. Gue sempet sedih pas nganterin ibu balik. Tapi gue urungkan rasa sedih gue itu, karena ibu udeh berpesan bahwa anak laki-laki sudah seharusnya kuat dan tegar. Dan airmata adalah segala sesuatu yang dapat melemahkan. So, ibu kemudian pergi tanpa ada air mata pada hari itu.

Hingga hari ini gue belum sempat berbuat banyak hal yang sekiranya bisa membuat ibu gue bangga. Akan tetapi dalam lubuk hati yang paling jauh, gue tetep bangga menjadi anak dari seorang ibu yang telah membesarkan kelima anaknya seorang diri. My mother is the strongest woman. Maaf gue belum bisa membuat ibu bangga sejauh ini. Im so sorry.

Semoga ibu selalu dalam lindungan sang Penguasa langit dan bumi. Hanya kepada-Mu lah tempat kami mengadu, dan hanya kepada-Mu lah tempat kami meminta. Semoga ibu selalu di beri kesehatan. Amin.

Sebagai penutup, hari ini suasana hati gue kembali meredup. Ya gue emang rindu ama rumah, tapi lagi-lagi gue belum bisa pulang. Setidaknya catatan ini menjadi pelampiasan yang tepat atas kerinduan ini.

Sampai jumpa di lain hari. Bye boy bye girl.

Canggu, Bali 10 April 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar